Rabu, 05 Mar 2025, 20:05 WIB

Korupsi Makin Menggurita, Hardjuno Wiwoho: Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati

Hardjuno Wiwoho

Foto: Istimewa

Korupsi Makin Menggurita, Hardjuno Wiwoho: Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati

JAKARTA - Gelombang kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia semakin memperlihatkan lemahnya sistem penegakan hukum. Publik dibuat geram dengan skandal korupsi bernilai triliunan rupiah, seperti kasus dugaan megakorupsi PT Pertamina yang diperkirakan berpotensi merugikan negara hingga Rp968,5 triliun triliun sejak 2018 hingga 2023. Di tengah krisis kepercayaan ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dianggap sebagai solusi mendesak, tetapi hingga kini masih terkatung-katung di DPR.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi. “Pengesahan RUU ini adalah harga mati. Tidak boleh ditunda lagi,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (5/3/2025). Menurutnya, hukuman penjara saja tidak cukup karena banyak koruptor yang tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah bebas.

Hardjuno menjelaskan bahwa pemberantasan korupsi harus berjalan dalam tiga aspek utama: pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Namun, selama ini, pemulihan aset sering terhambat oleh prosedur hukum yang berbelit. Saat ini, aset koruptor hanya bisa disita setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang memberi mereka waktu untuk menyembunyikan hasil kejahatan.

RUU Perampasan Aset membawa terobosan dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa menunggu putusan pidana. Model ini sudah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, konsep illicit enrichment memungkinkan penyitaan kekayaan pejabat yang meningkat secara tidak wajar jika tidak dapat dibuktikan asal-usulnya.

Meski telah diwacanakan sejak 2003, pembahasan RUU ini terus mengalami jalan buntu. Hardjuno menilai bahwa kepentingan elite politik menjadi penghambat utama. “Bagaimana mungkin aturan yang bisa memiskinkan koruptor ini akan disahkan dengan mudah, sementara banyak elite yang mungkin terdampak?” katanya.

Ia juga mengatakan bahwa banyak kasus korupsi berkaitan dengan sumber daya alam, seperti kasus PT Timah. Padahal, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) menyebut bahwa kekayaan alam harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan menjadi bancakan segelintir orang.

“Pengesahan RUU Perampasan Aset dapat menjadi langkah strategis untuk mengembalikan aset negara yang telah dijarah,” tandas Hardjuno.

Namun, menurut Hardjuno, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan mengesahkan RUU ini. Komitmen politik dan independensi aparat hukum adalah faktor kunci. “RUU ini ibarat pisau tajam. Jika dipegang oleh orang yang tepat, bisa efektif, tapi jika tidak, bisa mandul atau disalahgunakan,” tambahnya.

Selain itu, ia menegaskan pentingnya memperkuat KPK yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan sistematis. Tanpa lembaga antikorupsi yang independen, aturan sebaik apa pun tidak akan efektif. “Kita tidak boleh diam. Korupsi sudah begitu mengakar. Jika tidak ada tekanan publik, pengesahan RUU ini bisa terus diulur-ulur tanpa kepastian,” pungkasnya.

Redaktur: Eko S

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan: