Komisi III DPR RI Akan Rapat Khusus dengan KY-MA
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Foto: antaraKomisi III DPR RI akan memanggil KY dan MA terkait putusan PN Surabaya yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Putusan ini dinilai bertentangan dengan rasa keadilan.
JAKARTA - Komisi III DPR akan memanggil Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) untuk mengikuti rapat khusus terkait pendalaman putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memvonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur.
"Jadi saya pikir kita harus bersama-sama mengawal ini, dan di masa sidang nanti kami agendakan rapat khusus dengan KY dan kami juga akan mengundang Mahkamah Agung untuk membahas terkait masalah ini," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman ditemui usai rapat audiensi bersama keluarga korban penganiayaan Dini Sera Afrianti di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemairn.
Dia menjelaskan, bahwa DPR RI saat ini masih tengah masa reses sehingga rapat khusus tersebut baru akan dilakukan pada masa sidang berikutnya yang dimulai pada 16 Agustus mendatang. "Nanti ketika masuk masa sidang, karena enggak bisa di masa reses rapat khusus itu," ujarnya.
Sebagai komisi yang membidangi urusan hukum, dia mengatakan pihaknya berkomitmen akan mengawal kasus tersebut agar korban dan keluarganya mendapatkan keadilan. "Kami sebagai pengawas, baik KY dan juga sebagai mitra Mahkamah Agung, tadi sudah dibacakan kesimpulan akan proaktif mengawal kasus ini agar korban dan keluarga korban mendapatkan keadilan," katanya.
Dia menilai putusan PN Surabaya tersebut bertentangan dengan rasa keadilan, serta mengindikasikan adanya pelanggaran yang dilakukan majelis hakim dalam mengambil putusan. "Sangat kasat mata ketidakadilan yang terjadi dalam putusan tersebut, ya. Jadi tambahan masukan lagi yang paling signifikan dari kuasa hukum tadi bahwa adanya indikasi sangat kuat pelanggaran saat memimpin persidangan yang dilakukan oleh majelis hakim, di antaranya seolah membatasi, terungkapnya kebenaran, itu tadi disampaikan, membatasi," kata dia.
Pada Rabu (24/7), majelis hakim PN Surabaya, Jawa Timur, membebaskan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan putra dari mantan salah satu anggota DPR RI Edward Tannur, dari segala dakwaan dalam kasus penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya menetapkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan terhadap tersangka Ronald Tannur yang telah menghilangkan nyawa kekasihnya tersebut. Ronald dijerat dengan Pasal 351 dan 359 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Penyelidikan oleh kepolisian mengungkap penganiayaan terjadi usai pasangan kekasih itu menghabiskan malam di tempat hiburan, kawasan Surabaya Barat.
Selain itu, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun sudah secara resmi menonaktifkan anggota DPR Fraksi PKB Edward Tannur dari keanggotaannya di Komisi IV DPR RI imbas kasus yang menimpa anaknya tersebut.
Bukan Pembunuhan Biasa
Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Mamik Sri Supatmi menilai kasus penganiayaan yang dilakukan Gregorius Ronald Tannur hingga mengakibatkan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, meninggal dunia, merupakan bentuk femisida.
"Seperti contoh yang dialami oleh Dini, saya rasa buat saya itu adalah suatu bentuk penyiksaan yang berakhir pada pembunuhan, yang patut atau layak disebut sebagai femisida," kata Mamik dalam acara "Quo Vadis Negara Hukum: Perempuan Berbicara" di Jakarta, Rabu (31/7).
Menurut dia, femisida tidak boleh disamakan dengan kasus pembunuhan biasa, sebab ada dimensi misigoni atau kebencian terhadap perempuan, di mana korban dibunuh atau disiksa sampai mati.
"Jadi dimensi ini harus diakui tentang aspek gender, aspek keperempuanan, yang menjadi faktor dia dibunuh atau disiksa sampai mati, meninggal. Enggak adil kalau kemudian dianggap atau disamakan dengan pembunuhan biasa, jelas ada kebencian, ada prasangka, ada perendahan yang hidup di dalam kepala dan perasaan pelaku pada korban," tuturnya.
Femisida, kata dia, dapat menyasar perempuan sebagai korban yang berstatus sebagai istri, kekasih, hingga pekerja seks komersial (PSK). "Korban perempuan tidak hanya para istri, pacar, tapi juga teman-teman perempuan yang dilacurkan atau pekerja seks, termasuk pacar atau kekasih, seperti yang dialami oleh Dini," ucapnya.
Dia pun menyebut pihaknya tengah mengupayakan langkah advokasi pada ranah hukum dan penegakan-nya agar femisida dikenali sebagai bentuk kekerasan yang khas terhadap perempuan. Ant/S-2
Berita Trending
- 1 Kebijakan PPN 12 Persen Masih Jadi Polemik, DPR Segera Panggil Menkeu
- 2 Nelayan Kepulauan Seribu Segera miliki SPBU Apung
- 3 Banjir Bandang Lahar Dingin Gunung Jadi Perhatian Pemerintah pada 2025
- 4 Athletic Bilbao dan Barca Perebutkan Tiket Final
- 5 Mulai Januari 2025, Usia Pensiun Pekerja Indonesia Naik Satu Tahun Menjadi 59 Tahun