
Kenali Mitos Seputar Glaukoma, Penyakit Mata yang Dapat Sebabkan Kebutaan Permanen
DR. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K), konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics menjelaskan seputar glaukoma dalam acara Waspada Si Pencuri Penglihatan: Mitos, Fakta, Risiko, & Deteksi Dini!,” di Jakarta pada hari Kamis (13/3).
Foto: Dok. JECJAKARTA – Di negara berkembang, 90 persen kasus glaukoma tidak terdeteksi. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa sekitar satu milyar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap kesehatan mata karena distribusi yang tidak merata.
Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, dari 39 juta kasus kebutaan di dunia, sebanyak 3,2 juta disebabkan oleh glaukoma dan prevalensi glaukoma mencapai 0,46 persen, atau sekitar 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk.
Glaukoma merupakan kondisi neuropati optik progresif yang disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan di dalam bola mata yang dapat merusak saraf optik dan berdampak pada penurunan fungsi penglihatan, bahkan kebutaan.
Kondisi ini dapat dialami oleh usia berapa pun, namun seiring peningkatan faktor risiko, kondisi ini banyak dialami oleh kalangan usia 40 tahun ke atas. Hal ini menjadikan glaukoma sebagai penyebab kebutaan tertinggi kedua setelah katarak.
Nyaris tanpa gejala, glaukoma berpotensi memberikan dampak yang lebih fatal dibandingkan katarak. Pasalnya glaukoma tidak dapat direhabilitasi karena dapat menyebabkan kebutaan permanen. Oleh karenanya perlu dicegah dampak fatalnya ini.
DR. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K) selaku konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics menjelaskan, glaukoma merupakan penyakit mata yang sering kali berkembang tanpa gejala di tahap awal. Dampaknya banyak penderita baru menyadari ketika sudah mengalami gangguan penglihatan yang permanen.
“Sebesar 80 persen kasus glaukoma tidak memiliki gejala, kebanyakan pasien terdiagnosa secara tidak sengaja saat tes kesehatan atau di saat skrining. Namun jika muncul gejala sakit kepala hebat, pandangan tiba- tiba kabur, mual, muntah, dan kesakitan hebat, Masyarakat perlu waspada,” ungkapnya dalam media edukatif bertajuk “Waspada Si Pencuri Penglihatan: Mitos, Fakta, Risiko, & Deteksi Dini!,” di Jakarta pada hari Kamis (13/3).
Pasien yang menderita glaukoma akut, memiliki waktu 2 x 24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen. Oleh karenanya, JEC Eye Hospitals and Clinics terus berkomitmen untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya glaukoma dan pentingnya deteksi dini glaukoma.
“Sehingga, kami selalu menghimbau agar masyarakat melakukan skrining dini glaukoma secara berkala,” tambahnya.
Dalam sesi media ini juga membahas beberapa mitos yang sering berkembang. Saat ini terdapat mitos glaukoma hanya menyerang orang tua. Faktanya glaukoma dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak muda dan bahkan bayi yang lahir dengan glaukoma kongenital.
“Faktor risiko seperti riwayat keluarga dan penyakit tertentu seperti diabetes juga bisa meningkatkan kemungkinan terkena glaukoma lebih awal,” kata Iwan.
Selain itu terdapat mitos sering main gawai atau membaca dalam gelap menyebabkan glaukoma. Padahal faktanya penggunaan gawai dalam waktu lama memang bisa menyebabkan mata lelah, tetapi tidak secara langsung menyebabkan glaukoma. Penyakit ini lebih berkaitan dengan tekanan bola mata yang meningkat dan kerusakan saraf optik.
Mitos selanjutnya adalah jika terkena glaukoma, pasti akan buta. Faktanya dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat, banyak penderita glaukoma dapat mempertahankan penglihatannya selama bertahun-tahun.
“Pemeriksaan mata rutin adalah kunci utama untuk mencegah kebutaan akibat glaukoma,” paparnya.
Selanjut mitos bawah glaukoma bisa disembuhkan dengan obat herbal atau terapi alternatif. Faktanya saat ini, belum ada obat herbal atau metode alternatif yang terbukti secara ilmiah bisa menyembuhkan glaukoma.
“Pengobatan yang dianjurkan oleh dokter, seperti obat tetes mata, laser, atau operasi, adalah langkah medis yang terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit ini,” paparnya.
Banyak mito mengatakan glaukoma bukan penyakit keturunan. Faktanya penyakit ini memiliki faktor genetik yang signifikan. Jika seseorang memiliki anggota keluarga dengan glaukoma, risikonya untuk terkena penyakit ini menjadi lebih tinggi.
Oleh karena itu, orang dengan riwayat keluarga glaukoma disarankan untuk melakukan pemeriksaan mata secara rutin. Selain faktor keturunan, beberapa kondisi lain juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena glaukoma.
Beberapa kondisi lain dimaksud adalah usia di atas 40 tahun, tekanan bola mata tinggi (hipertensi okular), penyakit penyerta seperti diabetes dan hipertensi, miopia (rabun jauh) atau hipermetropia (rabun dekat) tinggi, cedera pada mata atau penggunaan obat kortikosteroid dalam jangka Panjang.
“Karena glaukoma sering berkembang tanpa gejala di tahap awal, deteksi dini menjadi sangat penting. Pemeriksaan mata secara rutin, terutama bagi individu dengan faktor risiko, adalah langkah utama dalam mencegah dampak glaukoma yang lebih serius,” sarannya.
Teknolog Penanganan Glaukoma.
Sebagai rumah sakit mata yang selalu mengedepankan inovasi, JEC Eye Hospitals and Clinics telah mengadopsi teknologi terbaru dalam skrining dan penanganan glaukoma. Beberapa teknologi yang digunakan meliputi Optical Coherence Tomography (OCT), teknologi pencitraan non-invasif ini memungkinkan dokter melihat ketebalan saraf optik untuk mendeteksi tanda-tanda awal glaukoma.
Visual Field Test (Perimetri), adalah pemeriksaan untuk menganalisis kehilangan penglihatan periferal yang merupakan gejala khas glaukoma. Tonometri Non-Kontak (Air Puff Test) & Goldmann Applanation Tonometry adalah teknik modern untuk mengukur tekanan bola mata dengan lebih akurat. Gonioskopi merupakan pemeriksaan untuk menilai sudut drainase mata dan menentukan jenis glaukoma yang diderita pasien.
“Sebagai salah satu jaringan rumah sakit mata terkemuka di Indonesia, JEC Eye Hospitals and Clinics berkomitmen untuk terus meningkatkan kesadaran dan akses terhadap layanan kesehatan mata. Melalui kampanye edukatif dan fasilitas pemeriksaan mata yang lengkap, JEC berharap dapat membantu lebih banyak masyarakat dalam mendeteksi dan mengelola glaukoma lebih awal,” jelas Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K) selaku Head of Glaucoma Service, JEC Eye Hospitals and Clinics.
Ia menuturkan, sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat, JEC Eye Hospitals and Clinics masih membuka tahap kedua program CSR untuk operasi 100 pasien implan glaukoma gratis. Operasi gratis dilaksanakan di hampir seluruh cabang JEC Group yang ada di seluruh Indonesia.
“Masyarakat yang membutuhkan dapat menghubungi JEC untuk dilakukan screening awal dan mendapatkan kesempatan menjalani prosedur ini tanpa biaya. Program ini bertujuan untuk membantu pasien dengan keterbatasan akses terhadap pengobatan yang efektif guna mencegah kebutaan akibat glaukoma,” imbuh Widya.
Berita Trending
- 1 Cuan Ekonomi Digital Besar, Setoran Pajak Tembus Rp1,22 Triliun per Februari
- 2 Warga Jakarta Wajib Tau, Boleh Cek Kesehatan Gratis Kapan Saja
- 3 Mantap, Warga Jakarta Kini Boleh Cek Kesehatan Gratis Kapan Saja tanpa Harus Nunggu Hari Ulang Tahun
- 4 Mourinho Percaya Diri, Incar Kebangkitan Fenerbahce di Liga Europa Lawan Rangers
- 5 Kemdiktisaintek Luncurkan Hibah Penelitian Transisi Energi Indonesia-Australia