Hutan Mangrove Tongke-Tongke, Pesona Benteng Alami di Pesisir Sinjai
Foto: ANTARA/Arnas PaddaDahulu tingkat abrasi di Desa Tongke-Tongke mencapai 15 meter per tahun. Kesadaran warga akan fungsi mangrove dalam beberapa tahun terakhir mampu menciptakan hutan luas dan rapat yang berfungsi sebagai benteng alami yang mampu menyelamatkan pesisirnya dari terjangan tsunami.
Masyarakat Desa Tongke-Tongke sekarang begitu menyadari arti keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan mereka. Bukan hanya bermanfaat secara ekonomi dan ekologi, namun juga menyelamatkan mereka dari gelombang tsunami yang datang dari Teluk Bone.
Pada 12 Desember 1992 gelombang tsunami akibat gempa di Pulau Flores berhasil dicegah oleh hutan bakau Tongke-Tongke. Oleh karenanya, bencana tersebut tidak terlalu berdampak pada masyarakat karena sebagian rumah warga sudah terlindung oleh hutan bakau.
- Baca Juga: ‘Sonic the Hedgehog 4’ akan Dirilis Tahun 2027
- Baca Juga: Serunya “Cliff Jumping” di Sironjong Ketek
Gelombang tsunami dari Pulau Flores yang dipicu oleh gempa dengan Magnitudo 7,4 itu bukan main-main. Gelombangnya dahsyat itu menewaskan 1.895 jiwa di wilayah-wilayah yang mengalami terjangannya.
Pada 2016, mangrove kembali menyelamat warga Desa Tongke-Tongke dari amukan banjir bandang di Kabupaten Sinjai. Bencana alam itu sendiri telah menelan korban hingga mencapai lebih kurang 100 jiwa, namun warga Desa Tongke-tongke dan sekitarnya relatif aman dan terlindungi.
Pada hari biasa, keberadaan Hutan Mangrove Tongke-Tongke mencegah pemukiman penduduk di tepi pantai mengalami banjir dan hantaman ombak dari laut Teluk Bone yang ganas. Hingga kini hutan ini semakin luas karena masyarakat terus melakukan penanaman karena merasakan manfaatnya.
Hutan Mangrove Tongke-Tongke yang berada di Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ini memiliki luas 173,5 hektare. Selain disebut hutan mangrove paling luas, vegetasinya sangat rapat sehingga sering disebut hutan mangrove terluas dan terapat di Indonesia.
Kini karena daya tariknya itu, Hutan Mangrove Tongke-Tongke menjadi salah satu ekowisata nasional Indonesia. Hutan Mangrove Tongke-Tongke juga menjadi kawasan konservasi, tempat penelitian dan tempat rekreasi.
Kesadaran akan pentingnya hutan mangrove tidak datang begitu saja. Pada tahun 1955-an terjadi abrasi dengan kecepatan kurang lebih 15 meter per tahun diBumi Panrita Kitta, sebutan untuk Sinjai yang artinya tanah para ulama. Keadaan ini mengancam perkampungan serta seluruh tambak di sepanjang pantai Tongke-Tongke.
Saat itu antara 1955-1959, di wilayah ini sedang terjadi pemberontakan DI/TII yang dipimpin Bang Jumali. Selama kurang lebih empat tahun masyarakat diintimidasi dan rumah penduduk banyak yang dibakar hingga sebagian masyarakat mengungsi ke daerah yang lebih aman.
Pada tahun 1960-1962 kondisi keamanan mulai membaik. Sebagian masyarakat kembali ke Tongke-Tongke untuk menata kampungnya setelah keamanan dianggap benar-benar pulih. Saat itu pemerintah membagi Tongke-Tongke menjadi dua dusun yakni Dusun Tongke-Tongke dan Dusun Maroanging.
Tahun 1970, kondisi gelombang pasang air di pesisir Desa Tongke-Tongke semakin tinggi hingga mencapai 30-40 sentimeter, bahkan sampai di kolom rumah penduduk. Pada tahun 1980-an, abrasi pantai sangat luar biasa mengakibatkan rumah penduduk banyak yang terancam bahkan ada beberapa rumah yang harus dipindahkan untuk menghindari bencana.
Karena kondisi pemukiman yang setiap tahunnya terancam abrasi maka muncul ide dari kepala lingkungan yang saat itu dijabat oleh almarhum H Badaruddin bersama dengan beberapa tokoh masyarakat untuk melakukan penyelamatan pantai dengan cara mengumpul batu karang untuk dijadikan sebagai tanggul (talut).
Batu karang tersebut diambil dari desa tetangga di sekitar Pulau Sembilan yang pengambilan batu karangnya di lakukan sepekan sekali usai salat Jumat. Pengambilan batu karang tersebut dilakukan dengan penuh semangat demi menyelamatkan lingkungan mereka dari ancaman abrasi.
Warga Tongke-Tongke ketika itu belum tahu kalau mengumpulkan batu karang dapat merusak biota laut. Tidak seperti karang alami di laut, ternyata upaya penyelamatan dengan pembuatan tanggul tidak berhasil. Warga desa itu baru mulai mencoba menanam bakau salah satu jenis mangrove pada tahun 1980-an.
Inisiatif tersebut muncul karena melihat lingkungan tetangga yang tidak kena abrasi karena terhalang tumbuhan bakau. Pengalaman tersebut telah mendorong penduduk Tongke-Tongke yang dimotori oleh H Badaruddin sebagai kepala lingkungan bersama masyarakat, bersepakat untuk melakukan penanaman bakau mulai 1986.
Upaya penghijauan oleh masyarakat Desa Tongke-Tongke dilakukan secara secara swadaya. Mereka mendirikan Kelompok Pecinta Sumber Daya Alam - Aku Cinta Indonesia (KPSDA-ACI) untuk menggerakan warga dalam proses rehabilitasi.
Kegiatan penanaman bibit bakau ini berlangsung sampai tahun 1990 dan hasil penanaman tersebut tingkat pertumbuhanya cukup baik. Atas prestasi ini Presiden Republik Indonesia, Soeharto, pada tahun 1995 memberi penghargaan Kalpataru kepada kepada bapak Muh. Tayyeb sebagai ketua kelompok Aku Cinta Indonesia (ACI).
"Tongke-Tongke ini merupakan pusat restorasi dan pembelajaran mangrove yang luasnya mencapai 173,5 hektare, terluas dan rapat pohonnya di Indonesia," kata Kabid Pengembangan Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai, Dewi Anggraini, kepada kantor beritaAntarapada November lalu.
Saat ini ketinggian pohonnya telah mencapai sekitar 5 meter dengan kerapatan 0,5 x 0,5 meter. Ketinggian dan kerapatan pohon mangrove di kawasan ini sangat mendukung bagi habitat flora dan fauna sebagai habitat di kawasan pesisir ini.
Mangrove di Tongke-tongke merupakan perpaduan antara mangrove alami dan hasil rehabilitasi. Ada tiga spesies yang dijumpai di kawasan ini menurut kajian dari Universitas Hasanuddin yaituRhizophora mucronata,Avicennia sp, danNypa fruticans.
Sejumlah fauna yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove seperti serangga, ular pohon, kelelawar, burung bangau, burung belibis. Ada pula berbagai hewan lautan seperti tiram, beragam jenis ikan, kepiting bakau dan udang.
Jika dijabarkan lagi ada 27 spesies ikan dan 4 spesies udang dan sedikitnya 8 spesies gastropoda (lebih umum dikenal sebagai siput dan siput telanjang), ada juga 8 spesiesbivalvia(organisme yang memiliki ciri khas berupa dua bagian cangkang yang kurang lebih simetris) yang hidup menetap di kawasan mangrove.
Adapun fauna yang ada di pohon kawasan mangrove Tongke-Tongke adalah berbagai macam serangga, ular pohon, kelelawar, burung belibis, dan bangau. Mereka menjadikan hutan ini tempat hidup dan beranak pinak.
Beragam Fasilitas
Menurut Dewi, kelebihan wisata mangrove di Sinjai, karena selain dapat menikmati kawasan mangrove yang sejuk, juga terdapat sejumlah fasilitas sepertitrackingmangrove permanen sepanjang 250 meter untuk mengamati flora dan fauna di lokasi itu. Selain itu ada pula fasilitasshelter, pondok informasi, dan kafe terapung.
Hanya berjarak sekitar 7,1 kilometer dari pusat Kota Sinjai, membuat destinasi ini menjadi wisata wisata andalan bagi masyarakat setempat. Untuk memfasilitasi pengunjung telah didirikan gazebo, musala, kios danplayground, area pemancingan, area pembibitan, serta penyewaan perahu.
Di dalamnya dibangun pondok informasi untuk memberitahu apa yang ada di dalamnya melalui peta. Dari peta akan diketahui kawasan mangrove, potensi flora dan fauna yang berkembang dan tak kalah menariknya terdapatphoto boothuntuk melakukan swafoto.
Untuk sampai ke lokasi ini, dapat menyusuri jalan hotmix sekitar lima kilometer dari pusat kota Kabupaten Sinjai. Di sini juga dapat menikmati pemandangan perkampungan khas nelayan dengan jejeran berbagai jenis perahu nelayan bersandar di pelabuhan rakyat.
Ketika memasuki pintu gerbang Hutan Mangrove Tongke-Tongke, pengunjung cukup membayar tiket masuk sebesar 10 ribu rupiah untuk dewasa, dan 5 ribu rupiah untuk anak-anak. Objek wisata ini buka pukul 08.00-17.45 waktu Indonesia tengah.
Banyaknya wisatawan yang dapat turut penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sinjai. Dari bulan Januari hingga Juni 2024 ini misalnya telah menyetor ke Pemda sebesar 134 juta rupiah. Belum lagi sumbangan bagi perekonomian warga yang terlibat dalam kegiatan pariwisata di tempat ini.
Hutan Mangrove Tongke-Tongke juga menjadi tempat masyarakat nelayan setempat mengais rejeki sebagai tambahan penghasilan dari melaut. Mereka mencari ikan dan kepiting dengan memasangbubupada sore hari lalu mengambilkan esok hari. Hasil tangkapan tergantung jumlahbubuyang dipasang dan juga tergantung musimnya.
Kepiting tangkapan ini kemudian dijual ke warung untuk konsumsi wisatawan. Oleh karenanya wisatawan disarankan untuk mencoba kuliner yang ditawarkan yang beberapa sumbernya olahannya baik ikan, kepiting, dan udang, yang berasal dari kawasan hutan mangrove yang terjaga kelestariannya itu. hay/I-1
Redaktur: Ilham Sudrajat
Penulis: Haryo Brono
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia