GINSI : Industri Terancam Shortage Bahan Baku, Revisi PP 28/2021 Mendesak
Dari Kiri ke Kanan: Ketua Umum BPP GINSI Capt Subandi, Wakil Ketua Bidang Logistik Kepelabuhanan, dan Kepabeanan BPP Ginsi Erwin Taufan, dan Yelinda dari PT Tira Austenite (Importir Baja).
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Kalangan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) kesulitan melakukan kegiatan menyusul pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Oleh karenanya, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak beleid itu untuk direvisi lantaran mengancam ketersedian pasokan bahan baku industri (shortage) yang berpotensi mengancam terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Yelinda dari PT Tira Austenite (Importir Baja), mengungkapkan sejak adanya beleid itu kini pemegang API-U tidak diproses perizinan impornya khususnya untuk komoditi besi baja dan turunannya, ban maupun tekstil.
"Kran importir umum dibatasi sejak Desember 2022 melalui beleid itu. Dan jika terus berlanjut, kami memprediksikan daya tahan industri nasional hanya mampu sampai Juni 2023. Kondisi ini membahayakan kelangsungan ekonomi nasional. Karenanya kami minta beleid itu direvisi terutama pada pasal 19 ayat (1)," ujarnya kepada wartawan di kantor GINSI, di Jakarta pada Rabu Malam (5/4/2023), saat pertemuan kordinasi dan berbuka puasa bersama pengurus BPP GINSI.
Pada kasempatan itu, Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi mengungkapkan pihaknya telah melakukan publik hearing pada 15 Februari 2023 dengan Kemenko Perekonomian dan dihasilkan kesimpulan setelah mendengarkan masukan maupun keluhan para importir nasional bahwa PP 28/2021 itu akan direvisi.
"Namun sampai kini hasil revisinya belum kunjung terbit. Makanya kami (GINSI) mempertanyakan hal itu kembali. Kami selaku importir bukan anti terhadap pembinaan yang dilakukan pemerintah, tetapi janganlah membuat aturan yang justru berpotensi membinasakan pelaku usaha importasi nasional," ucap Subandi.
Berdasarkan data GINSI, di DKI Jakarta saja terdapat 700-an anggota GINSI dan 300-perusahan diantaranya pemegang API-U yang 60-70% nya merupakan importir baja dan turunannya.
Adapun saat ini terdapat 1200-an importir pemegang API-U yang tersebar di seluruh Indonesia, dan 60-70%-nya merupakan importir baja dan turunannya, termasuk juga komoditi ban.
Soroti Sinas NK
Disisi lain, GINSI juga menyoroti Sistem Nasional Neraca Komoditas atau Sinas-NK. Pasalnya sistem berbasis teknologi informasi ini justru menyulitkan pengusaha dalam melakukan importasi.
Padahal neraca komoditas disebut, tujuan awalnya adalah guna menyederhanakan perizinan ekspor-impor serta menjadi dasar penerbitan persetujuan ekspor dan persetujuan impor, serta memberikan kepastian hukum dalam perizinan berusaha.
"Adanya permasalahan ini sangat disayangkan karena berdampak pada terhambatnya rantai pasok ke industri manufaktur, barang konsumsi dan lainnya. Potensi pemutusan hubungan kerja atau PHK dan gangguan rantai pasok ke industri sulit dicegah jika pemerintah tidak merevisi kebijakannya. Masalah ini harus segera diatasi," ujar Capt Subandi.
Subandi berharap dan memohon agar pemerintah mendengar jeritan dan kesulitan para pelaku usaha importasi yang terdampak akibat kebijakan tersebut.
Pasalnya, para importir saat ini dihantui dengan ketidakpastian, dan sering mengalami kerugian jika barang impor yang dipesan tidak dapat masuk ke Indonesia atau sudah masuk namun tidak dapat keluar dari pelabuhan lantaran perizinan impornya tidak direspons di Sinas-NK.
Wakil Ketua Bidang Logistik Kepelabuhanan, dan Kepabeanan BPP Ginsi Erwin Taufan mengatakan banyak importir yang mengeluhkan permasalahan sinas-NK. Seperti untuk impor untuk komoditi sparepart, otomotif, ban, baja, dan elektronik sejak Desember 2022 hingga saat ini tidak bisa diproses saat diajukan melalui sinas-NK.
Terkait PP 28/2021 itu, imbuhnya, sekarang ini para importir pemegang API-U seperti komoditi ban tidak bisa masuk barangnya melalui importasi, begitupun dengan komoditi baja dan turunannya.
"Karenanya Kementerian Koordinator Perekonomian perlu secepatnya mendorong revisi PP 28/2021. Sebab kalangan industri nasional saat ini sudah di ujung tanduk lantaran bahan baku tersendat. Kalau gak ada solusi konkret menyelesaikan masalah ini kekuatan kita cuma sampai Juni atau sekitar dua bulan lagi kedepan," ungkap Taufan.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Antara
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Pemerintah Kukuhkan JK Sebagai Ketum, Sekjen PMI Versi Agung Laksono Tolak Surat Jawaban Kemenkum
- Hati Hati, Ada Puluhan Titik Rawan Bencana dan Kecelakaan di Jateng
- Malam Tahun Baru, Ada Pemutaran Film di Museum Bahari
- Kaum Ibu Punya Peran Penting Tangani Stunting
- Trump Tunjuk Produser 'The Apprentice', Mark Burnett, sebagai Utusan Khusus untuk Inggris