Bumi Pernah Hujan Tanpa Henti Selama Dua Juta Tahun
Foto: afp/ Arun SANKARBumi pernah mengalami hujan tanpa henti selama dua juta tahun. Dipicu oleh melimpahnya karbon dioksida di atmosfer oleh peristiwa vulkanik, menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang memicu turunnya air tanpa henti.
Hujan tanpa henti pernah terjadi di akhir periode Trias, sebuah masa kehidupan yang berada sekitar lebih dari 234 juta tahun yang lalu. Saat itu Bumi dalam keadaan panas dan lembab. Pada kondisi ini menciptakan hujan berlangsung selama dua juta tahun.
Periode Trias diketahui telah menciptakan beberapa pergolakan besar dalam iklim, lanskap, dan kehidupan di Bumi. Salah satu yang paling tidak dikenal adalah Peristiwa Pluvial Karnian (Carnian Pluvial Event/CPE), sebuah peristiwa hujan yang berlangsung terus menerus selama dua juta tahun yang mengubah planet ini selamanya.
Lalu seperti apa Bumi sebelum hujan yang tak henti-hentinya ini? Pada saat itu, daratan utamanya adalah Pangea. Benua ini merupakan superbenua yang sangat besar yang ada pada zaman Paleozoikum dan Mesozoikum sekitar 250 juta tahun lalu, sebelum akhirnya terbelah menjadi beberapa bagian.
Pada masa itu Pangea pada dasarnya adalah gurun tandus yang sangat besar. Luasnya membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan. Kehidupan tanaman kurang mengesankan karena hanya berupa tanaman gurun kecil yang tersebar di pasir. Sedangkan kehidupan hewan hanya terdiri dari serangga, reptil, mamalia, dan dinosaurus paling awal yang sangat purba.
Musim hujannya pun pendek dan jarang terjadi. Pegunungan di sekitar pedalaman mencegah hujan turun secara teratur. Hanya garis pantai yang mendapat bagian air. Suhu Bumi 10 derajat Celsius lebih hangat daripada sekarang dan suhu laut 47 derajat Celsius.
Selain memiliki benua raksasa bernama Pangea, Bumi juga memiliki satu samudra utama yang disebut Panthalassa. Superlautan purba yang mengelilingi superbenua Pangaea, dan merupakan nenek moyang dari Samudra Pasifik. Benua ini terbentuk sekitar 250 juta tahun yang lalu, dan ukurannya menyusut sejak pecahnya Pangaea, sejak 180 juta tahun yang lalu.
Panthalassa menjadi tempat tinggal ammonoid, gastropoda, spons, karang, dan spesies lainnya. Namun semua itu berubah ketika apa yang awalnya berupa beberapa awan gelap dan tetesan hujan segera berubah menjadi musim hujan dua juta tahun tanpa henti.
Anehnya, peristiwa ini jarang dibicarakan hingga sekarang, meskipun bukti tentangnya telah beredar sejak tahun ‘70-an, karena ketika membahas peristiwa kepunahan massal, para ilmuwan selalu berfokus pada “lima besar” yaitu Ordovisium-Silur, Devon, Permian-Trias, Trias-Jura, dan Akhir-Kapur.
Para ilmuwan melupakan bahwa hujan selama dua juta tahun juga menjadi salah satu penyebab kepunahan massal yang terjadi di Bumi. Beberapa peneliti menyalahkan posisi kronologis peristiwa yang aneh atas pengabaiannya.
Peristiwa itu tidak terjadi pada awal atau akhir era geologi utama, seperti yang sering mereka lakukan. Peristiwa itu tampaknya terjadi pada waktu yang sangat acak. Lalu apa penyebab hujan 2 juta tahun?
Teori utama untuk periode curah hujan yang panjang ini adalah bahwa serangkaian letusan gunung berapi yang kuat di sekitar Alaska di Amerika Serikat dan British Columbia di Kanada mengirimkan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer.
Seperti yang terjadi saat ini, emisi karbon dioksida menyebabkan periode pemanasan global dan pengasaman lautan yang panjang. Hal ini menciptakan kelembaban yang tinggi, yang kemudian menyebabkan curah hujan yang sangat ekstrem.
Gunung berapi ini cukup kuat untuk mengubah siklus air dan karbon hingga mengubah iklim selamanya. Banyak spesies punah sebagai akibatnya, termasuk sepertiga dari semua hewan laut. Penting untuk dicatat bahwa hujan turun secara berkala, bukan dalam satu banjir besar yang terus-menerus dan tak pernah berakhir.
“Ini seperti mengisi daya baterai yang sangat besar,” jelas ahli geologi Jacopo Dal Corso, yang memimpin penelitian tentang topik tersebut. “Pendinginan yang sangat banyak di atmosfer dan penguapan serta pemanasan yang sangat banyak di dekat permukaan (akan) menyebabkan badai yang sangat besar,” ujar dia dikutip dari laman Explorers Web.
Beberapa ahli paleontologi berpendapat bahwa pegunungan baru menyebabkan semua masalah ini karena perubahan tekanan antara daratan dan lautan. Namun, sebagian besar ilmuwan percaya bahwa teori vulkanisme lebih masuk akal.
Kepunahan Tersembunyi
Peristiwa Pluvial Karnian baru ditemukan pada tahun ‘70-an. Ahli geologi Schlager & Schollenberger sedang mempelajari batuan di Pegunungan Kapur Utara Austria ketika mereka melihat lapisan batuan silisiklastik abu-abu gelap yang aneh dan tiba-tiba dalam catatan batuan karbonat yang sebelumnya konsisten.
Mereka memperkirakan usianya 234 juta tahun yang lalu. Batuan ini tidak konsisten dengan iklim Pangea yang panas dan kering. Sebaliknya, jenis batuan ini biasanya muncul di daerah yang sangat basah atau daerah dengan air yang melimpah.
Endapan lain dari masa ini mulai bermunculan di seluruh dunia. Di Inggris barat daya, ahli geologi menemukannya tertanam di lapisan batu pasir merah. Batuan ini juga muncul di Palestina, Italia, dan Utah di AS
Indikator lain dari banjir besar termasuk keberadaan ambar, batu bara, sungai dan danau purba dengan sisa-sisa tanaman yang membatu, dan tanah liat putih seperti bubuk yang disebut kaolinit. Selain itu, serbuk sari dan spora yang membatu yang ditemukan di bebatuan dari periode Karnian juga menunjukkan iklim yang lembab dan suhu yang panas.
Karena penemuannya baru-baru ini dan kesulitan dalam menemukan data selama bertahun-tahun, beberapa ahli geologi menyebut CPE sebagai kepunahan tersembunyi (hidden extinction).
Meskipun perubahan iklim akibat aktivitas manusia dianggap tidak diinginkan saat ini, periode perubahan iklim kuno ini memberikan banyak manfaat bagi dunia. Planet ini mengalami percepatan drastis siklus utama, termasuk siklus karbon dan hidrologi.
Dinosaurus pun berkembang pesat dan cuaca lebih teratur bersama tanaman yang lebih besar. Sedangkan reptil mulai berkurang karena pohon konifer yang menjulang tinggi dan tanaman besar lainnya menggantikan pasokan makanan mereka. Sementara laut yang menjadi asam menyebabkan pertumbuhan plankton dan terumbu karang.
Seperti bisa ditebak hujan kemudian berhenti. Lalu banjir menghilang dan suhu global kembali ke iklim yang tidak terlalu intens dan lebih dingin. Pangea kembali menjadi gurun lagi, tetapi lanskapnya tampak berbeda. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Amunisi Sehat, Khofifah-Emil Dapat Dukungan Nakes Muda Jatim!
- 2 Empat Paslon Adu Ide dan Pemikiran pada Debat Perdana Pilgub Jabar
- 3 Banjir Dukungan, PDIP Surakarta Targetkan Kemenangan 70 Persen pada Pilkada 2024
- 4 Hasil Survei SMRC Tunjukkan Elektabilitas Pramono-Rano Karno Melejit dan Sudah Menyalip RK-Suswono
- 5 Rem Blong Truk Bermuatan Berat Diduga Picu Tabrakan Beruntun di Cipularang
Berita Terkini
- Proyek Transportasi Massal Modern Berkelanjutan Surabaya-Sidoarjo Bernilai Rp 3,6 Trilliun Siap Dilelang Tahun Depan
- Rupiah Melemah Setelah Rilis IHK AS Oktober 2024
- BPBD: Sejumlah Desa di Banyumas Masih Terdampak Keringan
- 7 Tahanan Kabur, Komisi XII DPR Sidak Rutan Salemba
- Sederet Musisi Indonesia Angkat Isu Iklim, dari Efek Rumah Kaca hingga Voice of Baceprot