
BI Harus Pastikan Tambahan Likuiditas Menyasar Sektor Produktif
Bank Indonesia (BI)
Foto: antaraJAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan tetap fokus menjaga stabilitas makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan dengan mengarahkan kebijakan makroprudensial tetap pro-growth dan longgar. Hal itu untuk mendorong intermediasi sesuai dengan siklus keuangan melalui penguatan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (5/3) mengatakan mulai 1 April 2025, penguatan KLM yang sebelumnya ditetapkan 4 persen dari Dana Pohak Ketiga (DPK), ditingkatkan menjadi 5 persen. Dengan penguatan itu terdapat potensi tambahan likuiditas lebih dari 80 triliun rupiah, sehingga secara total menjadi 375 triliun rupiah.
Kebijakan itu ditujukan untuk mendorong kredit perbankan ke sektor riil atau sektor-sektor yang memiliki daya ungkit tinggi dalam penciptaan lapangan kerja, yang sejalan dengan program Asta Cita pemerintah.
Menanggapi kebijakan tersebut, Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan tambahan likuiditas sebesar 375 triliun rupiah tersebut dapat menjadi instrumen yang berguna untuk mengatasi keterbatasan dari sisi fiskal akibat kebijakan efisiensi dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, dia mengingatkan bahwa likuiditas sejumlah 375 triliun rupiah tersebut mungkin belum cukup sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa penyaluran dana tersebut benar-benar menyasar sektor-sektor yang produktif dan mampu menciptakan lapangan kerja.
“Jika dana ini tidak tersalurkan dengan baik atau penyerapannya lemah, ini bisa menjadi indikasi bahwa persoalan daya beli masyarakat ataupun masalah sistemik dan struktural dalam perekonomian nasional masih cukup akut,” jelas Prof Aloysius di Yogyakarta, Rabu (5/3).
Ia menekankan bahwa dalam skenario tersebut, perlu ada upaya pembenahan dari sisi kelembagaan dan tata kelola (governance) agar kebijakan itu dapat berjalan secara optimal.
Lebih lanjut, Aloysius menambahkan bahwa kebijakan makroprudensial yang lebih longgar ini tetap harus diimbangi dengan penguatan pengawasan dan mitigasi risiko.
“Jika dana likuiditas tidak terserap secara optimal oleh sektor-sektor produktif, dampak yang diharapkan terhadap pertumbuhan ekonomi bisa menjadi lebih terbatas,” katanya.
Hal itu akan menuntut koordinasi yang lebih erat antara BI, sektor perbankan, serta pemangku kebijakan lainnya agar distribusi likuiditas benar-benar efektif dalam mendorong perekonomian nasional.
Dengan tambahan likuiditas itu, diharapkan sektor usaha dapat semakin terdorong untuk melakukan ekspansi, meningkatkan investasi, serta menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
“Namun, tantangan dalam implementasi kebijakan ini tetap perlu diantisipasi agar dampaknya tidak hanya terasa di sektor keuangan, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi secara riil,” tandas Aloysius.
Pelonggaran likuiditas tambahnya perlu disertai kalkulasi yang cermat. Terutama agar hal itu tidak terjadi hanya karena intervensi pemerintah terhadap bank sentral. Artinya tetap perlu menjaga batas-batas independensi bank sentral.
Ekstra Hati-Hati
Diminta pada kesempatan lain, pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan, langkah tersebut memang patut dilakukan Bank Indonesia dalam menjalankan salah satu fungsinya yaitu melakukan stabilisasi.
“Memang terjadi volatilitas yang luar biasa dalam dua minggu ini di market, kalau sebelumnya telah terjadi penurunan, tapi belakangan ini ada kekhawatiran tertentu sehingga semua otoritas OJK, dan bursa efek mau mengerem kebijakan baru mengenai short selling dan buyback tanpa RUPS, seperti itu salah satunya (upaya stabilisasi) kalau dalam pasar modal,” kata Leo.
Sementara dari makroprudensial, memang harus ekstra hati hati karena kurs rupiah sempat di atas 16.500, sehingga kalau tanpa stabilisasi bisa mengkhawatirkan. “Bisa-bisa lepas, sehingga memang kebijakan-kebijakan tertentu itu harus diambil oleh bank sentral yaitu Bank Indonesia, untuk melakukan stabilisasi pasar sebagai salah satu fungsi dari otoritas moneter itu,” pungkas Leo.
Berita Trending
- 1 RI-Jepang Perluas Kerja Sama di Bidang “Startup” dan EBT
- 2 Soal Penutupan TPA Open Dumping, Menteri LH: Ada Tahapan Sebelum Ditutup Total
- 3 Jadwal Liga 1 Indonesia Pekan ke-26: Jamu Persik, Persib Berpeluang Jaga Jarak dari Dewa United
- 4 Pemerintah Kota Banjarmasin-Kemenkum Perkuat Sinergi Layanan Kekayaan Intelektual
- 5 Rekrutmen Taruna TNI 2025 Sudah Dibuka, Ini Link Pendaftaran dan Syaratnya