Bahan Lokal MBG Peluang Besar Gerakkan Ekonomi Rakyat
Program Makan Bergizi Gratis di Jakarta - Petugas menyiapkan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Palmerah, Jakarta, Senin (6/10).
Foto: Koran Jakarta/M FachriJAKARTA – Keseriusan pemerintah mengurangi impor pangan tidak perlu diragukan lagi. Setelah akhir tahun lalu Presiden Prabowo Subianto memerintahkan jajaran menterinya menyetop impor kebutuhan pangan pokok, kini Presiden melarang impor untuk bahan pokok pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang resmi dimulai pada Senin (6/1/2025).
“Presiden secara tegas telah mewanti-wanti agar tidak ada komiditas yang didatangkan secara impor dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis,” kata Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi saat ditemui di SD Angkasa 5 Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (6/1/2025).
Budi menyebut, hal itu dilakukan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi ke depan. Di mana, program ini diharapkan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kecil. Mulai dari petani, peternak hingga pelaku UMKM nasional. Dia mencontohkan, beras yang digunakan untuk program MBG misalnya didatangkan dari Cianjur.
Kemudian, untuk pasokan sayuran didatangkan dari petani-petani di wilayah Bandung. Dengan demikian, Budi memproyeksi program MBG ini bakal turut mendorong ekonomi RI tumbuh sekitar 0,89 pada 2025. “Ini semua pasti buatan Indonesia supaya tujuan MBG ini untuk menggerakkan ekonomi masyarakat bisa terwujud,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudisthira menegaskan Pemerintah harus konsisten untuk gunakan bahan baku lokal dalam MBG agar menghasilkan multiplier effect atau efek berganda yang besar secara ekonomi. Selain dampak ke petani dan peternak lokal, memprioritaskan bahan baku lokal juga berdampak positif terhadap stabilitas nilai tukar.
Penggunaan bahan baku lokal akan menciptakan lapangan kerja di pedesaan hingga mendorong industri turunan pertanian seperti alat mesin pertanian (alsintan) dan pupuk. “Produk lokal sering kali lebih segar dan terkontrol kualitasnya dibandingkan bahan impor yang memerlukan transportasi lama.
Bahan baku lokal juga akan mempengaruhi UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), karena sebagian besar UMKM akan mengambil baha baku dari pasar tradisional bahkan dari petani langsung,” pungkas Bhima.
Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan, impor adalah penyakit ekonomi paling berat bagi Indonesia. Akibat kebijakan impor yang tidak terkendali, sektor pertanian hancur, sektor manufaktur melemah, dan pada akhirnya daya saing nasional juga menurun.
Aditya menekankan bahwa kebijakan larangan impor harus menjadi prioritas pemerintah jika ingin membangkitkan perekonomian akar rumput. “Jangan sampai ada ruang bagi rente ekonomi, yang sering kali menjadi alasan utama kebijakan impor dilakukan,” imbuhnya.
Selain merusak sektor produksi domestik, kebiasaan impor juga menciptakan ketergantungan jangka panjang yang membahayakan kemandirian ekonomi bangsa. Ia menilai, komitmen Presiden Prabowo untuk memanfaatkan produk lokal dalam program MBG adalah peluang besar untuk menggerakkan ekonomi rakyat, baik itu sektor pertanian, peternakan, maupun UMKM.
“Pemerintah perlu mengawal program ini hingga benar-benar menjadi titik balik bagi perekonomian nasional. Jangan hanya berhenti pada wacana atau klaim di awal program,” tandasnya.
Akses Pangan Bergizi
Pakar sosiologi dan kemiskinan dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengapresiasi kebijakan pemerintah yang melarang impor untuk bahan baku MBG. Namun dia berharap, pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin agar akses mereka terhadap makanan bergizi lebih luas.
“Pelarangan impor untuk bahan program makan gratis ini menggarisbawahi hubungan erat antara kemiskinan, kesenjangan, dan aksesibilitas pangan,” katanya. Menurut Bagong, ketahanan pangan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari isu ketimpangan sosial yang kerap dialami masyarakat desa yang menjadi tempat produksi bahan baku pangan.
Karena kalau pemenuhan kebutuhan bahan baku yang demikian besar untuk program ini dipenuhi dari impor, itu sama saja membiarkan kemiskinan di desa. Perekonomian petani dan warga desa sangat bergantung dari serapan hasil panen dan otomatis ini akan berdampak positif bagi geliat di pedesaan.
Di Indonesia, garis kemiskinan masih berada di angka 500 ribu rupiah per bulan, sehingga keluarga dengan penghasilan di atas 2 juta rupiah tidak lagi dianggap miskin. Namun, masalah utama bukan sekadar angka, melainkan aksesibilitas terhadap pangan bergizi.
Sosialisasi makanan bergizi tidak akan berhasil selama daya beli masyarakat terhadap bahan makanan sehat masih rendah (di luar jatah makan gratis). Selama struktur sosial tidak mendukung dan berpihak kepada masyarakat miskin, program MBG hanya menjadi bentuk santunan semata,” tuturnya.
Redaktur: M. Selamet Susanto
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kebijakan PPN 12 Persen Masih Jadi Polemik, DPR Segera Panggil Menkeu
- 2 Nelayan Kepulauan Seribu Segera miliki SPBU Apung
- 3 Athletic Bilbao dan Barca Perebutkan Tiket Final
- 4 Banjir Bandang Lahar Dingin Gunung Jadi Perhatian Pemerintah pada 2025
- 5 Mulai Januari 2025, Usia Pensiun Pekerja Indonesia Naik Satu Tahun Menjadi 59 Tahun