Akar Kekerasan Infrastruktur yang Menjerumuskan "Orang Laut" Menjadi Pemulung
Sekumpulan Orang Laut di perahu kajang sebagai tempat tinggal mereka.
Dalam kasus Orang Laut, kekerasan infrastruktur terjadi akibat kebijakan pemerintah 'mendaratkan' Orang Laut yang awalnya hidup nomaden di Perairan Batam.
Kekerasan infrastruktur kerap tak disadari karena adanya kekeliruan pemahaman pemerintah mengenai kebudayaan masyarakat berbasis laut yang amat bias dengan perspektif masyarakat berbasis darat. Kebijakan yang dilahirkan sebagai "pemaksaan" untuk menangani masalah-masalah masyarakat kelautan pun pada akhirnya meleset dan justru melahirkan kekerasan.
Kekerasan ini berhulu dari pembangunan besar-besaran Kota Batam sebagai pusat investasi sejak 1970-an. Saat itu, Batam sebagai wilayah strategis daerah perbatasan negara tumbuh menjadi daerah Industri, perdagangan, galangan kapal, dan pariwisata yang mempunyai otoritas pengembangan wilayah.
Agar Kota Batam lebih 'berstandar internasional', Pemerintah secara khusus mencanangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di Batam dan sekitarnya tahun 1980-an. Melalui PKMT dan dalih pembangunan nasional, pemerintah berupaya mengubah pola hidup Orang Laut dengan mendaratkan mereka di sejumlah pulau yang telah disiapkan infrastrukturnya termasuk menyediakan perumahan.
Di Kota Batam, Orang Laut mendiami Pulau Caros (Kelurahan Karas), Tanjung Undap (Kelurahan Tembesi), Pulau Nipah ( Kelurahan Galang Baru), Pulau Nanga (Galang Baru), Pulau Bertam (Bulang). Orang Laut juga ada di Pulau Lingka (Bulang), Pulau Gara (Bulang) dan Pulau Air Mas (Ngenang).
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya