Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Laporan Bank Dunia I Harga Beras di Indonesia Tertinggi di Negara-negara Asean

Petani Mendapat Manfaat Paling Kecil dari Kenaikan Harga Beras

Foto : ANTARA/DEDHEZ ANGGARA

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto - Tingginya harga beras di Indonesia bukan semata-mata karena mekanisme pasar, melainkan dipicu oleh tingginya harga input pertanian

A   A   A   Pengaturan Font

» Daya tawar petani sebagai produsen pangan di Indonesia lemah.

JAKARTA - Bank Dunia baru-baru ini merilis laporan yang menyatakan bahwa harga beras di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara (Asean). Ironisnya, harga yang tinggi tersebut tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Pendapatan petani di Indonesia tetap rendah. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, yang dihubungi, Minggu (22/9), mengatakan tingginya harga beras di Indonesia bukan semata-mata karena mekanisme pasar, melainkan dipicu oleh tingginya harga input pertanian.

"Biaya produksi yang terus meningkat, terutama harga pupuk dan sarana produksi lainnya, menambah beban petani sehingga kesejahteraan mereka tidak kunjung membaik, meski harga beras di pasaran tinggi," kata Dwijono. Intervensi pemerintah misalnya melalui pupuk subsidi nyatanya tidak efektif dalam pembagiannya. "Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah saat ini disalurkan melalui pabrik pupuk, namun harga pupuk yang sampai ke tangan petani masih di atas harga subsidi," jelas Dwijono.

Sebab itu, perlu meninjau kembali mekanisme sistem distribusi subsidi pupuk. "Sudah saatnya pemerintah mengubah mekanisme subsidi pupuk dari yang sebelumnya dialirkan ke pabrik pupuk menjadi subsidi langsung ke petani. Ini akan memastikan bahwa petani benar-benar mendapatkan manfaat dari subsidi tersebut dan bisa menurunkan biaya produksi mereka," tambahnya. Selain pupuk, Dwijono juga menyoroti pentingnya perbaikan infrastruktur, terutama saluran irigasi.

"Saat ini, iuran irigasi bagi petani sudah cukup mahal, namun sayangnya, kualitas aliran irigasi yang sampai ke lahan pertanian masih belum memadai," ungkapnya. Kurangnya pasokan air yang memadai untuk lahan pertanian menyebabkan produktivitas petani sulit meningkat. Dia pun menyarankan pemerintah agar segera melakukan perbaikan menyeluruh terhadap fasilitas irigasi. "Tanpa aliran air yang baik, mustahil produktivitas pertanian dapat ditingkatkan secara optimal.

Alhasil, petani terjebak dalam siklus produksi rendah dan pendapatan minim," jelasnya. Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, FX. Sugiyanto, mengimbau agar kebijakan pangan kembali mengacu pada UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Menurut dia, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah secara total kebijakan pangan di Indonesia dengan menjadikan impor pangan sebagai bagian integral dalam penyediaan pangan.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top