Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perubahan Iklim I 90% Lebih Kematian di Dunia akibat Bencana Selama 51 Tahun

2023, Produksi Beras Dunia Diproyeksi Susut karena Cuaca Ekstrem

Foto : ANTARA/YUDI

KRISIS IKLIM SUSAHKAN PETANI I Petani mencangkul sawah yang mengalami kekeringan di kawasan pertanian Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, belum lama ini. Krisis iklim seperti kekeringan mengancam pangan dan penghidupan miliaran penduduk dunia.

A   A   A   Pengaturan Font

» Saat suhu bumi semakin panas, produksi beras dalam masalah yang mengancam pangan dan penghidupan miliaran orang.

» India membatasi ekspor beras karena khawatir produksi mereka tidak cukup untuk memberi makan rakyatnya.

JENEWA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Senin (22/5), mengatakan bencana akibat cuaca melonjak dalam 50 tahun terakhir sehingga kerusakan pada perekonomian membengkak.

Dikutip dari The Straits Times, Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO) mencatat peristiwa yang berhubungan dengan cuaca, iklim, dan air yang ekstrem menyebabkan 11.778 bencana yang dilaporkan antara 1970 hingga 2021.

Bencana tersebut juga menewaskan lebih dari dua juta orang dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 4,3 triliun dollar Amerika Serikat (AS).

"Masyarakat yang paling rentan sayangnya menanggung beban cuaca, iklim, dan bahaya terkait air," kata Kepala WMO, Petteri Taalas, dalam pernyataannya.

Laporan juga menunjukkan lebih dari 90 persen kematian di seluruh dunia akibat bencana selama periode 51 tahun terjadi di negara-negara berkembang. Badan itu juga mengatakan peningkatan sistem peringatan dini dan koordinasi manajemen bencana sudah mengurangi jumlah korban manusia secara signifikan.

Kurangi Hasil Pertanian

Sementara dari New York, The Straits Times juga melaporkan saat suhu bumi semakin panas, produksi beras dalam masalah yang mengancam pangan dan penghidupan miliaran orang. Kadang-kadang curah hujan tidak cukup, saat bibit membutuhkan air, atau air melimpah sehingga tanaman terendam banjir. Begitu pula saat laut mengganggu, garam merusak tanaman. Saat suhu malam menjadi hangat, hasil panen pun turun.

Ancaman itu memaksa dunia menemukan cara baru untuk menanam salah satu komoditas utama. Petani padi menggeser kalender tanam mereka. Para perekayasa tanaman sedang berupaya mengembangkan varietas super yang kuat agar bertahan pada suhu tinggi atau tanah dengan kadar garam yang tinggi.

Saat air semakin menipis di banyak bagian dunia, para petani sengaja membiarkan ladang mereka mengering, sebuah strategi yang juga mengurangi metana, gas rumah kaca yang kuat yang muncul dari sawah.

Krisis iklim sangat menyusahkan bagi petani kecil dengan sedikit lahan, seperti halnya ratusan juta petani di Asia.

"Mereka harus beradaptasi. Kalau tidak, mereka tidak bisa hidup," kata Pham Tan Dao, Kepala Irigasi Soc Trang, provinsi pesisir di Vietnam, salah satu wilayah penghasil beras terbesar di dunia.

Di Tiongkok, sebuah penelitian menemukan bahwa curah hujan yang ekstrem telah mengurangi hasil panen padi selama 20 tahun terakhir.

India juga membatasi ekspor beras karena khawatir produksi mereka tidak akan cukup untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Di Pakistan, panas dan banjir menghancurkan panen, sementara di California, AS, kekeringan panjang menyebabkan banyak petani mengosongkan ladang mereka.

Di seluruh dunia, produksi beras diproyeksikan menyusut pada 2023, sebagian besar karena cuaca ekstrem.

Vietnam saat ini sedang mempersiapkan untuk menghentikan produksi hampir 101.171 hektare lahan di Delta Mekong, sentra beras negara itu. Perubahan iklim sebagian penyebabnya, tapi juga bendungan di hulu Sungai Mekong yang menyumbat aliran air bersih.

Beberapa tahun, ketika hujan tidak seberapa, petani bahkan tidak menanam padi seperti sebelumnya, atau mereka beralih ke budi daya udang, yang mahal dan dapat semakin merusak tanah.

Tantangan sekarang berbeda dengan 50 tahun lalu. Padahal, dunia perlu menghasilkan lebih banyak beras untuk mencegah kelaparan. Benih hibrida hasil tinggi, ditanam dengan pupuk kimia.

Di Delta Mekong, para petani terus menghasilkan dengan panen tiga kali setahun untuk memberi makan jutaan orang di dalam dan luar negeri. Sistem produksi intensif itu telah menciptakan masalah baru di seluruh dunia karena menghabiskan akuifer, yang mendorong penggunaan pupuk, mengurangi keragaman bibit padi yang ditanam, dan mencemari udara dengan asap dari tunggul padi yang terbakar.

Selain itu, ada perubahan iklim yang telah mengubah ritme sinar matahari dan hujan yang menjadi tempat bergantung padi.

Hal yang mungkin paling mengkhawatirkan karena nasi dimakan setiap hari oleh beberapa orang termiskin di dunia, sementara konsentrasi karbon dioksida yang tinggi di atmosfer menghabiskan nutrisi di setiap butir.

Di tempat lain, petani harus mengubah kalender mereka untuk menanam beras dan biji-bijian pokok lainnya atas bantuan para ilmuwan. Tim peneliti di laboratorium milik Argelia Lorence dipenuhi dengan 310 jenis benih beras yang berbeda.

Banyak yang kuno, jarang tumbuh sekarang. Tapi, mereka memiliki kekuatan genetik super yang coba ditemukan oleh Lorence, seorang ahli biokimia tanaman di Arkansas State University, terutama yang memungkinkan tanaman padi bertahan hidup di malam yang panas, salah satu bahaya perubahan iklim yang paling akut.

Lorence adalah salah satu pasukan pemulia padi yang mengembangkan varietas baru untuk planet yang lebih panas.

Di Bangladesh, para peneliti telah menghasilkan varietas baru untuk tekanan iklim yang sudah dihadapi para petani. Beberapa dapat tumbuh ketika terendam air banjir selama beberapa hari, sedangkan yang lain dapat tumbuh di tanah yang telah berubah menjadi asin.

Di masa depan, kata para peneliti, negara akan membutuhkan varietas padi baru yang dapat tumbuh dengan sedikit pupuk, yang sekarang disubsidi secara besar-besaran oleh negara atau harus mentolerir tingkat salinitas yang lebih tinggi lagi.

Kepala ilmuwan di Institut Penelitian Padi Bangladesh, Khandakar M. Iftekharuddaula, mengatakan apa pun yang terjadi dengan iklim, petani perlu memproduksi beras lebih banyak. "Nasi dimakan setiap hari. Ketahanan beras identik dengan ketahanan pangan," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top