Koran-jakarta.com || Kamis, 11 Nov 2021, 05:06 WIB

Arah Transisi Energi Indonesia ke PLTS Tidak Jelas

  • Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
  • Gas Rumah Kaca
  • PLTS
  • emisi karbon

TANJUNG ENIM - Upaya Asia mencapai target internasional dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) telah mendapat tekanan dari lobi industri yang kuat yang masih bergantung pada bahan bakar fosil dan kurangnya investasi dalam sumber energi terbarukan di negara-negara miskin.

Ket.

Doc: istimewa

Tiga masalah itu tampak semakin besar ketika kawasan itu bergulat dengan kekurangan energi dan kenaikan harga menjelang Konferensi Iklim PBB COP26 yang penting di Skotlandia, minggu lalu.

Selain itu, Asia juga mengalami banyak hambatan seperti ukuran kawasan industri, industri padat energi, dan kesenjangan kekayaan yang mencolok menjadikannya penentu arah tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan dekarbonisasi.

Nikkei Asia melihat bagaimana kisah ketergantungan batu bara Indonesia menyoroti blok struktural untuk perubahan kebijakan iklim di Asia. Penambang Bukit Asam terjebak di antara batu dan tanah yang keras. BUMN berusia 102 tahun itu menghadapi seruan yang meningkat untuk melepaskan inti bisnisnya, batu bara.

Usahanya ke dalam energi terbarukan itu menghadapi hambatan yang membuat upaya yang lebih luas agar Indonesia kembali jalur lebih hijau.

Bukit Asam mengatakan sangat ingin memanfaatkan energi surya untuk mengambil keuntungan dari pinjaman berlimpah yang tersedia dengan persyaratan yang menguntungkan untuk proyek-proyek energi terbarukan.

Tapi, Bukit Asam belum bisa membuat Perusahaan Listrik Negara (PLN) setuju untuk membeli output surya yang direncanakan. Ini adalah rintangan yang tampaknya tidak dapat diatasi karena PLN memonopoli jaringan distribusi tenaga listrik di Indonesia.

Kebuntuan tersebut menghambat upaya Indonesia untuk memenuhi janjinya berdasarkan Perjanjian Iklim Paris 2015 untuk mengurangi emisi karbonnya sebesar 29 persen pada tahun 2030 dengan menggunakan sumber dayanya sendiri, atau 41 persen jika ada dukungan internasional.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeklaim Indonesia mencapai 24 persen dari total target pengurangan emisi sebesar 834 juta ton setara CO2 pada tahun 2017.

Peralihan Bukit Asam ke energi surya seharusnya menjadi bagian penting dari upaya pengurangan emisi lebih lanjut.

Perusahaan telah membangun beberapa pembangkit listrik tenaga surya mikro dan sedang merencanakan pembangkit listrik tenaga surya skala besar di lokasi bekas tambang yang luas di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pengumuman Tiongkok pada September bahwa mereka akan menghentikan pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri tampaknya memperkuat logika strategis perusahaan Indonesia.

Kekesalan Bukit Asam semakin besar karena PLN belum setuju untuk membeli energi surya. Ini terlepas dari rencana pengadaan 10 tahun terakhir PLN yang diumumkan pada 5 Oktober, di mana energi terbarukan merupakan setengah dari tambahan kapasitas pembangkit listrik 40,6 Gigawatt yang akan ditambahkan secara nasional pada tahun 2030.

Itu lompatan besar dari target 29,6 persen pada literasi sebelumnya. Di bawah target baru, kapasitas surya seharusnya meningkat lima kali lipat menjadi 4,7 gigawatt. Apalagi, pemerintah telah berjanji untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060.

Penyerapan tenaga surya yang lambat oleh PLN sebagian berasal dari perkiraan yang terlalu ambisius dalam program pengadaan pembangkit listrik sebelumnya. Hal ini menyebabkan pembangunan fasilitas berbahan bakar batu bara yang berlebihan dan akibatnya kelebihan pasokan ke jaringan listrik Indonesia. SB/FT/E-9

Tim Redaksi:
S
V

Like, Comment, or Share:

Tulisan Lainnya dari Selocahyo Basoeki Utomo S

Artikel Terkait