Revolusi Industri 4.0 dan Universitas
Foto: koran jakarta/onesOleh Prof Badri Munir Sukoco, PhD
Beberapa bulan terakhir banyak dibahas universitas sudah tidak relevan lagi untuk berkontribusi ke masyarakat. Bahkan beberapa media luar negeri meramalkan "kematian" universitas, ditinggalkan bila tidak berubah. Contoh terbaru dialami Chicago State University yang "sekarat." Mahasiswa baru turun drastis. Prediksi ini dipicu keputusan Google yang tidak lagi memerlukan ijazah pendidikan tinggi para pegawai. Ini diikuti Ernst & Young dan beberapa perusahaan. Kenapa hal tersebut terjadi? Relevansi lulusan dengan perubahan dunia dampak dari Revolusi Industri (RI) 4.0 belum dirasa tinggi dan bernilai tambah bagi perusahaan.
Klaus A Schwab, pendiri World Economic Forum, menyatakan bahwa dunia kini berada di tahapan awal RI 4.0. RI pertama menggunakan air dan mesin uap untuk produksi. Kedua menggunakan listrik untuk produksi massal. Ketiga menggunakan elektronik dan teknologi informasi untuk otomatisasi produksi. Keempat merupakan revolusi digital. Cirinya, konvergensi teknologi yang menjadikan batas antara dunia fisik, digital, dan biological spheres tidak jelas.
Revolusi keempat berjalan secara eksponensial. Kemungkinan miliaran manusia akan terhubung mobile devices, dengan kemampuan dan kekuatan untuk memproses, kapasitas menyimpan, dan mengakses pengetahuan melalui internet, sangat tidak terbatas. Ini menghancurkan (disrupt) seluruh industri di semua Negara. Luasan serta kedalaman dampak perubahan telah, sedang, dan akan mentransformasi sistem produksi, manajemen, serta tata kelola pemerintahan.
Contoh, ketika otomasi meningkat, komputer dan mesin (robot) mengganti pekerja seperti sopir, apoteker, pengacara, pegawai toko, tentara, akuntan, sales (rumah, kredit perbankan, hingga asuransi). Forbes memperkirakan 47 persen pekerja di Amerika nbakal diganti robot demi produktivitas dan efisiensi merupakan. Contoh terbaru, keputusan McDonald's AS mengganti kasir di 2.500 restoran dengan robot (kioss mirip ATM) dengan harapan harga sahamnya naik dari 142 dollar AS menjadi 180 dollar AS hingga akhir tahun ini.
Tugas terberat universitas di Indonesia era RI 4.0 adalah reskilled pekerja agar tidak gagap dan menyiapkan angkatan kerja baru dengan kompetensi relevan dengan kebutuhan. Bila universitas tidak memiliki kapabilitas dinamis yang mampu meng-orkestrasi potential talents, khususnya di Indonesia, dapat dipastikan jumlah creative class tidak mencapai 20 persen pada 2030.
Reorientasi
Richard Florida menyatakan, proporsi creative class yang tinggi memastikan GDP dan GDP per capita negara tersebut juga meningkat. Universitas sebagai pencetak terbesar creative class harus berubah agar lulusan tetap relevan. Langkah pertama, reorientasi organisasinya: market-driven (melayani pasar saat ini) dalam mencetak creative professionals dan market-driving (mendorong pasar masa depan) guna mencetak super-creative core.
Super-creative core merupakan penduduk yang menciptakan kreasi-kreasi baru. Mereka terdiri atas ilmuwan, engineers, artis dan lain-lain. Adapun creative professionals, menjual jasanya sesuai dengan kompetensi seperti pengacara, dokter, atau manajer. Orientasi strategis baik market-driven atau market-driving harus dilakukan simultan agar kinerja organisasi universitas lebih baik daripada fokus pada salah satunya.
Universitas perlu mendinamiskan kapabilitasnya dengan sensing, seizing, dan reconfiguring (Teece, 2007). Melalui sensing, universitas konstan melakukan scanning, mencari, dan mengeksplorasi perkembangan teknologi serta perubahan di pasar baik local (dalam universitas atau nasional) maupun distant (industri dan global).
Ada 4 megatrends yang harus diantisipasi universitas menurut Andrew Bolwell, Chief Disrupter dari Hewlett Packard: urbanisasi, perubahan demografi, globalisasi, dan akselerasi inovasi. Terkait urbanisasi, Parag Khanna (2016) dalam bukunya, memprediksi 2/3 penduduk dunia akan pindah dan tinggal di megacities (1,8 miliar), 95 di antaranya kontribusi negara berkembang. Ini akan menguubah pola konsumsi barang dan jasa. Mereka menggerakkan sharing economy dan convenience-based services.
Perubahan demografi salah satunya ditandai meningkatnya persentase perempuan yang berpendidikan tinggi dengan karier tinggi meningkat di negara berkembang, sehingga permintaan produk-produk eksklusif juga melompat, She-conomy. Bahkan Fortune memprediksi tahun 2040, sepertiga CEO perusahaan Fortune 500 adalah perempuan. Peningkatan jumlah gen Z menjadikannya sangat signifikan (2,6 miliar tahun 2017). Ini menaikkan proporsi gig economy (tahun 2015. Nilai ekonominya mencapai 1,15 triliun dollar AS di Amerika dan 109 miliar pounds di Inggris). Ini diisi generasi muda ber-mindset: being my own boss dan flexible working hours dan penurunan full time employment.
Pertambahan usia harapan hidup juga menjadikan pemonitoran kesehatan melalui digital health seiring meningkatnya penyakit-penyakit kronis (diabetes mellitus, jantung, stroke dll). Kombinasi konektifitas yang sanggup memonitor kesehatan pasien secara real time, pengelolaan big data, genome services, serta pengembangan obat yang lebih cepat akan mengubah landscape industri kesehatan. Bahkan Rumah Sakit Universitas Marburg telah mengombinasikan layanan kesehatan dengan Doctor House-IBM Watson (database IBM) untuk mendiagnosisi penyakit-penyakit kronis dan tidak teridentifikasi.
Terkait globalisasi, perlu berterima kasih pada internet karena dunia terkoneksi tanpa kendala dan menjadikan volume transaksi perdagangan atau pertukaran data meningkat dibanding dekade lalu. Ini memerlukan cyber trust and security baik keamanan individu maupun negara. Ketika transaksi online meningkat pesat mendorong beberapa negara Skandinavia mengadopsi cashless society. Ini memopulerkan Bitcoin sebagai mata uang digital untuk transaksi online.
Terakhir, akselerasi inovasi. Ketika jejak data konsumen dan perilakunya tersimpan secara digital di internet, algorithma yang semakin maju menjadikan artifial intelligence (AI) untuk memprediksi kebutuhan manusia lebih tepat. Penggunaan AI untuk robotic akan meningkatkan unemployment. Beberapa aplikasi juga didesain untuk membantu manusia dengan meningkatkan kemampuan melalui bantuan robot (Ingat, Tony Stark dalam film Iron Man). Orang sakit seperti stroke terbantu aplikasi AI di bidang kesehatan (Shieber, 2016).
Proses kedua seize opportunities. Menghadapi berbagai megatrends tadi, universitas di Indonesia tentunya perlu menyesuaikan dosen dan kurikulum agar bisa menjawab tantangan. Menyediakan dana besar untuk training kembali dosen-dosen didikan 1990-an hingga 2000-an awal, di diimbangi dana-dana penelitian agar RI 4.0 relevan dengan megatrends. Juga mendigitalkan pendidikan agar relevan dengan Gen Zeneration. Dengan begitu universitas tetap relevan dan signifikan dalam mengawal peradaban memasuki RI 4.0 (De Graaf, 2016).
Terkait market-driving, perlu pengiriman generasi muda ke universitas-universitas terkemuka dalam bidang ilmu yang dekat dengan RI 4.0. Cari dosen-dosen baru berbasis teknologi dekat perkembangan RI. Pertukaran staf dan mahasiswa untuk melihat tren dunia.
Penulis Guru Besar Universitas Airlangga
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal