Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 07 Sep 2019, 05:00 WIB

Memutus Spiral Kekerasan Papua

Foto: KORAN JAKARTA/ONES

Bumi Cenderawasih kembali bergolak yang bermula dari tindakan rasis di Malang dan Surabaya. Demonstrasi di sejumlah Kota Papua dan Papua Barat berujung ricuh. Sejumlah kantor pemerintah dan fasilitas umum dirusak dan dibakar massa. Guna meredam situasi, pemerintah meminimalkan jaringan komunikasi. Alhasil, berita rusuh simpang-siur.

Belakangan, diketahui terdapat sedikitnya tujuh warga meninggal dan satu anggota TNI. Tidak hanya mengusung isu penolakan rasisme, protes juga mengajukan tuntutan lain seperti referendum yang bukan isu baru. Setiap terjadi gejolak sosial-politik di Papua, tuntutan referendum selalu muncul. Ironisnya, respons pemerintah pun sama, dengan menambah pasukan militer dan polisi.

Dalam banyak hal, harus diakui, pendekatan militeristik demikian, acap kali tidak menyelesaikan subtansi problem tanah Papua. Bahkan, malahan melahirkan "spiral kekerasan". Dalam bukunya The Spiral of Vioelence, Dom Helder Camara mendefinisikan spiral kekerasan sebagai kondisi konflik yang dilatari persoalan sosial politik diselesaikan dengan cara-cara kekerasan. Hal ini lantas melahirkan dendam serta kekerasan baru yang terus berulang.

Spiral kekerasan, lanjut Camara, jaringan kekerasan multidimensional yang beroperasi dalam ruang-ruang sosial. Artinya, kekerasan demi kekerasan dalam ruang sosial adalah realitas yang tidak berdiri sendiri, saling memengaruhi. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari kekerasan personal, institusional hingga struktural.

Pelakunya pun beragam. Ada individu, kelompok sipil, sampai negara. Camara melihat spiral kekerasan umumnya terjadi dalam tiga fase. Pertama, fase ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik yang berakumulasi dalam kondisi sub-human. Masyarakat terbagi ke dalam kelompok elite yang jumlahnya sedikit, namun dominan dan masyarakat umum yang jumlahnya banyak, tapi posisinya subordinat.

Kondisi sub-human ini melatari kemunculan kecemburuan sosial dan menjadi embrio perlawanan. Kedua, fase pemberontakan, ketika kondisi sub-human yang diwarnai berbagai tekanan sosial, alienasi bahkan dehumanisasi tidak lagi dapat ditolerir dan bereskalasi menjadi suatu kekuatan untuk melawan.

Kekerasan struktural bertubi-tubi mendorong kelahiran gerakan protes, perlawanan, bahkan pemberontakan yang tidak jarang dilakukan dengan kekerasan. Ketiga, fase represi negara, ketika pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi merespons gerakan perlawanan sosial dengan mengerahkan kekuatan militer dan cara-cara kekerasan.

Boleh jadi, tujuan negara meredam perlawanan sosial dengan cara militeristik-represif untuk melindungi keutuhan bangsa dan negara. Namun, tanpa disadari tindakan represif itu justru membuat rantai kekerasan kian panjang, sehingga sukar diputus. Puluhan tahun sudah tanah Papua dihantui praktik kekerasan baik oleh aparat militer maupun kelompok sipil bersenjata.

Jika terus dibiarkan, ini tentu tidak saja berpengaruh pada kondisi sosial-politik masyarakat Papua, namun juga mengancam keutuhan bangsa dan negara. Ancaman disintegrasi melalui tuntutan referendum memang nyata. Namun demikian, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM).

Menyelesaikan problem Papua dengan mengerahkan pasukan militer dan polisi selama ini terbukti tidak akan menyelesaikan masalah, alih-alih memperkeruh suasana. Pada titik inilah penting kiranya bagi pemerintah pusat untuk membuka ruang dialog dengan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan untuk menyuarakan kemerdekaan Papua.

Gagasan referendum Papua idealnya tidak selalu dipahami dalam bingkai separatisme atau makar, alih-alih sebuah narasi tandingan bagi kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung menganaktirikan masyarakat Papua. Terbukanya ruang dialog akan memberi kemungkinan serta alternatif baru bagi penyelesaian konflik.

Pemerintah seharusnya mengajak tokoh dan organisasi yang dianggap merepresentasikan masyarakat Papua untuk duduk bersama dengan perspektif kesetaraan. Cara-cara ini diyakini akan lebih efektif meredam gejolak ketimbang mengerahkan ribuan pasukan. Pemerintah sepatutnya mampu melampaui cara-cara militeristik dalam merespon pergolakan sosial-politik Papua.

Pada saat sama, pemerintah juga perlu mengevaluasi komprehensif terkait kebijakan pembangunan Papua. Pembangunan infrastruktur fisik yang masif di Papua lima tahun belakangan harus diakui belum sepenuhnya mampu meredam gejolak sosial-politik lantaran tidak berbanding lurus dengan penghargaan HAM masyarakat Papua oleh negara.

Puluhan bahkan ratusan pelanggaran HAM berat di Papua setiap tahun sebagian besar dilakukan elemen pemerintah, terutama militer dan polisi. Namun, kasus-kasus pelanggaran HAM itu lebih sering dibiarkan. Penyelesaian hukumnya tidak memenuhi rasa keadilan publik. Pada saat yang sama masyarakat Papua juga kerap menerima perlakuan tidak manusiawi.

Salah satunya, perlakuan rasis seperti baru-baru ini terjadi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang. Sikap diam dan ketidaktegasan pemerintah dalam kasus-kasus tersebut mengesankan, pemerintah cenderung permisif pada tindakan tidak manusiawi terhadap masyarakat Papua. Maka, menjadi "wajar" jika sebagian masyarakat Papua kadung antipati pemerintah.

Reorientasi

Untuk menyikapinya, diperlukan semacam reorientasi pembangunan bagi tanah Papua. Pembangunan infrastruktur fisik guna menunjang pertumbuhan ekonomi Papua tidak bisa dibantah. Namun demikian, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan infrastruktur fisik. Lebih dari itu, mereka juga membutuhkan kehadiran negara untuk melindungi hak asasi sebagai manusia dan warga negara. Poin inilah yang acapkali luput dari perhatian pemerintah.

Pemerintah selama ini cenderung memandang Papua dan rakyatnya dalam perspektif geografis dan sosiologis yang timpang. Misalnya, tampak dalam sikap pemerintah yang nyaris selalu memposisikan mereka sebagai kaum terbelakang yang perlu dididik dan dikendalikan. Perspektif timpang inilah lantas melahirkan pola relasi hirarkis antara pemerintah dan rakyat Papua.

Gejolak sosial politik Papua dan Papua Barat hari-hari belakangan sepatutnya menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan serta cara pandang. Pemerintah perlu mengambil langkah taktis agar isu rasisme tidak berkembang liar menjadi konflik horisontal.

Jangan sampai pula, gejolak sosial politik Papua dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingan pragmatisnya. Dalam konteks ini, kita berharap pemerintah memakai pendekatan nonmiliteristik. Sebagai ganti hendaknya dikedepankan cara-cara kemanusiaan demi memutus spiral kekerasan yang berpuluh tahun membelenggu masyarakat Papua.

Desi Ratriyanti, Alumnus Ilmu Pemerintahan Undip

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.