Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 04 Sep 2019, 01:00 WIB

Benahi Moralitas Pejabat

Foto: koran jakarta/ones

oleh Cyprianus Aoer

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada tanggal 17 April 2019, lalu disusul pengumuman anggota dewan perwakilan rakyat terpilih (kabupaten, provinsi, pusat), dan dewan perwakilan daerah untuk masa lima tahun ke depan. Selain itu, pada kesempatan yang lain, dilakukan pemilihan umum untuk gubernur, kepala daerah, dan kepala desa.

Mereka merupakan calon pemimpin produk zamannya, yang seharusnya dipilih karena memiliki keunggulan pribadi sebagai pejabat publik seperti kecerdasan akal budi dan emosional. Artinya, sebagai pemimpin mereka harus memiliki moralitas publik, etika, dan berani mempertahankan yang sudah disepakati para pendiri bangsa: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan UUD 1945.

Dari dulu bangsa Indonesia memahami moralitas publik pemimpin yang sering diidentikkan dengan ciri-ciri: tanggung jawab, ketegasan, kejujuran, keadilan, menghargai martabat manusia, punya visi kerakyatan, dan rasa solider dengan sesama. Mereka jauh dari jebakan konflik kepentingan pribadi, berbuat adil untuk semua suku, ras, golongan dan agama. Selain itu, pemimpin harus belajar dan mengembangkan moralitas pribadi agar bisa mempengaruhi orang lain bahwa kepemimpinannya bisa meningkatkan kesejahteraan umum.

Namun akhir-akhir ini, ciri-ciri kepemimpinan tersebut semakin pudar karena tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang bersifat pragmatis. Kita bisa menyaksikan, ketika mereka berniat menjadi calon pemimpin terjadi perubahan cara hidup dan tingkah laku. Pada saat kampanye, mereka tampak sangat ramah, royal, dan rajin berkunjung ke daerah untuk menengok kerabat dan teman-teman. Tujuannya untuk mempererat tali keluarga dan mengumpulkan dana kampanye sebagai bukti dukungan. Mereka juga sambil berjanji andai sukses, para pendukungnya diberikan jabatan atau dana sebagai balas jasa.

Untuk itu, dibentuk beberapa tim sukses seperti pencari dana, penyusun materi kampanye, dan menyebarluaskan berita hoax untuk menyerang dan mencari kelemahan pribadi pesaing. Sisi gelap pesaingnya harus dicari dan dimasyarakatkan dibumbui segala macam karangan dusta. Cerita seolah fakta sehingga hoax ini sulit dibantah. Semua disebarluaskan lewat media sosial.

Akibatnya, berita kecurangan dan hoax meningkat tajam pada Pemilu 2019 lalu dibandingkan 11 pemilu sebelumnya. Masih tersimpan di ingatan, Pemilu 2019 lalu terjadi keruwetan di mana-mana. Banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara meninggal. Ada penipuan dan jual beli suara. Ini bukan saja menjadi senjata untuk menjatuhkan kubu pesaing, tetapi yang paling merisaukan, berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Itu bisa memudarkan kepedulian kepada sesama, mengentalnya isu agama, ras, dan golongan.

Sedangkan calon pemimpin terpilih siap dilantik menjadi pejabat. Walaupun, setelah dilantik, muncul beban membalas budi dan mengembalikan dana pinjaman. Moralitas kepemimpinan tidak lagi menjadi acuan bekerja sehingga mereka tidak takut untuk korupsi. Sialnya, banyak dari mereka tertangkap tangan oleh anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inilah beberapa kendala serius sistem pemilu sekarang, sulit sekali rakyat memilih calon pemimpin berdasarkan pertimbangan moralitas publik.

Pola Pencalonan

Dalam konteks itulah, kita perlu merefleksikan kembali pola pencalonan. Ini bukan saja tergantung penampilan fisik, tetapi jauh lebih penting sehat moralnya. Itu hanya diketahui dari perjalanan sejarah hidup masa lalu dan kini. Maka, Presiden sebagai Kepala Negara perlu membenahi moralitas publik pemimpin. Bersamaan dengan itu, rakyat diberi kesadaran memilih calon pemimpin yang tepat.

Pemimpin tak perlu harus memiliki banyak kemampuan. Dia adalah produk zamannya. Dia sendiri harus jujur memahami kemampuannya. Kesadaran ini mendorong dia bisa meningkatkan mutu pribadi yang berkaitan dengan moralitas publik, sehingga peka untuk menilai keadaan masyarakatnya.

Kita menyaksikan rakyat sekarang cenderung berada dalam keadaan anomali (tidak taat aturan/nilai) sehingga terjadi kekacauan di mana-mana. Contoh, heboh kecurangan dan hiruk pikuk pelaksanaan kampanye pemilu yang lalu. Hal ini terjadi sejak awal kampanye sampai pada pengumuman pemenang. Malahan sesudah diumumkan, masih banyak pihak melakukan perlawanan karena merasa tidak puas. Mereka melakukan unjuk rasa dan beperkara di Mahkamah Konstitus. Belum lagi calon yang dinyatakan gagal, terus melakukan protes dan naik banding atas pengumuman KPU.

Berbeda dengan calon pemimpin yang menang bertarung. Dia langsung mengadakan syukur di mana-mana, walau dalam hati kecilnya masih tersimpan beban cara membalas budi baik dan pengorbanan tim sukses. Tidak heran, beberapa kepala desa, bupati, gubernur, anggota DPR/DPD terpaksa korupsi. Kemudian mereka terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Artinya, mereka tidak punya kepekaan terhadap moralitas publik, tetapi lebih terdorong motivasi pribadi menjadi kaya dan mengembalikan dana kampanye.

Situasi seperti itu karena begitu sulit menemukan pemimpin ideal. Sebab tim suksesnya bermain sandiwara dan sengaja menyembunyikan kelemahan-kelemahannya. Padahal, inti moralitas publik adalah berpikir, berbicara, dan berbuat untuk kesejahteraan umum. Moralitas publik merupakan modal dasar yang harus menyatu dalam diri pribadi calon pemimpin. Di dalamnya, ada kesadaran untuk taat hukum baik tertulis maupun tidak (kode etik). Bila ada pelanggaran, diterapkan sanksi hukum kepada siapa pun, termasuk dirinya. Penulis mantan anggota DPR

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.