Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 18 Mei 2024, 00:04 WIB

Strategi BI Mencetak Uang Bisa Memperburuk Kondisi Perekonomian

Bank Indonesia (BI)

Foto: Koran Jakarta /M Fachri

» Independensi BI dipertanyakan karena seolah jadi kasir dari pemerintah.

» BI terlalu banyak campur tangan dalam pasar obligasi, ini bisa dianggap sebagai tanda bahwa ekonomi sedang tidak stabil.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) kini bergabung dengan kelompok eksklusif pemegang surat utang negara terbesar setelah masuk melakukan intervensi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) guna stabilisasi nilai tukar rupiah.

Otoritas moneter itu tercatat memiliki obligasi rupiah hingga 23 persen dari total kepemilikan pada minggu ini, melampaui kepemilikan bank-bank lokal. Menurut data pemerintah yang dikumpulkan Bloomberg, sebelum meningkatkan pembelian dalam rangka stabilisasi rupiah, kepemilikan BI pada awal 2020 masih kurang dari 5 persen.

Sebagai instrumen kebijakan di era pandemi, pembelian obligasi kini telah menjadi alat utama bagi Indonesia ketika berada dalam situasi menghadapi dominasi dollar AS tahun ini.

BI dinilai mengejutkan pasar dengan kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin atau 0,25 persen pada bulan April menjadi 6,25 persen, dan berjanji untuk mempertahankan tingkat tersebut sebagai upaya untuk mendorong nilai tukar rupiah kembali di bawah level 16.000 per dollar AS.

Dengan porsi sebesar itu, maka BI bersama bank sentral Jepang/ Bank of Japan (BoJ), sebagai pemegang surat utang negara RI terbesar.

"Statusnya sebagai pemegang obligasi pemerintah terbesar memungkinkan BI untuk mengendalikan volatilitas selama kondisi pasar global tidak menguntungkan," kata Myrdal Gunarto, ahli strategi Malayan Banking di Jakarta.

"Kami pikir ini merupakan perkembangan yang baik untuk pasar obligasi Indonesia," jelasnya.

Seperti diketahui, BI pada awalnya meningkatkan pembelian obligasi lokal untuk membatasi biaya pinjaman pemerintah selama pandemi sekaligus untuk memacu pertumbuhan ekonomi, serupa dengan negara-negara lain seperti Filipina.

Namun, kebijakan yang seharusnya hanya berlaku saat pandemi Covid-19, kini kembali diterapkan untuk menstabilkan imbal hasil obligasi guna mencegah arus keluar selama volatilitas pasar, seperti pada periode bulan lalu ketika mata uang Asia terguncang oleh spekulasi bahwa Federal Reserve akan menunda penurunan suku bunga.

Independensi BI Dipertanyakan

Menanggapi agresifnya BI itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan ada beberapa kekhawatiran jika porsi kepemilikan BI di obligasi pemerintah semakin dominan. Pertama, independensi BI dipertanyakan karena seolah jadi kasir dari pemerintah.

"Besarnya belanja negara ke depan membuat pemerintah bergantung pada BI untuk menyerap utang baru," tegas Bhima.

Kedua, defisit neraca BI semakin membengkak sehingga menurunkan efektivitas BI dalam operasi moneter jangka panjang. Ketiga, aksi BI itu akan meningkatkan uang beredar karena upaya pembelian surat utang berlebih dan menimbulkan risiko inflasi.

"Saat ini inflasi masih rendah, tapi begitu terjadi tekanan inflasi, tidak menutup kemungkinan strategi BI cetak uang memperburuk situasi," jelas Bhima.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, menegaskan kebijakan yang diambil BI itu berisiko terutama pada posisi utang negara.

Oleh karena itu, BI harus berhati-hati agar kebijakan yang sudah diambil betul-betul mempertimbangkan kesehatan keuangan negara. Terlebih sebagai otoritas keuangan tertinggi dan pemegang obligasi tertinggi BI harus mendorong agar pemerintah mengurangi utang.

"Tentu ini sangat rawan pada keuangan negara, apalagi di tengah tekanan yang kuat terhadap nilai tukar rupiah dan kondisi ekonomi global," tegas Badiul.

Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan posisi BI saat ini sebagai salah satu pemegang terbesar obligasi pemerintah dalam obligasi rupiah adalah konsekuensi dari intervensi pasar dalam sebulan terakhir untuk mempertahankan value rupiah.

Meskipun sukses, namun peningkatan kepemilikan obligasi oleh bank sentral dapat memicu inflasi. Jika BI mencetak uang untuk membeli obligasi, ini bisa meningkatkan jumlah uang beredar, yang pada akhirnya bisa meningkatkan harga barang dan jasa.

"Langkah intervensi yang terlalu besar juga bisa mempengaruhi kepercayaan investor. Jika pasar melihat bahwa BI terlalu banyak campur tangan dalam pasar obligasi, ini bisa dianggap sebagai tanda bahwa ekonomi sedang tidak stabil, yang bisa membuat investor asing enggan untuk berinvestasi," kata Susilo.

Selain itu, kebergantungan pada BI untuk menstabilkan pasar obligasi dapat menciptakan masalah di masa depan. Jika kondisi ekonomi memburuk dan BI harus terus membeli obligasi, maka akan memperlemah posisi fiskal pemerintah.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.