Soal IUP, Apakah Ormas Keagamaan Punya Kapasitas untuk Menambang?
Foto udara salah satu lahan tambang di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (27/5/2024).
Penawaran konsensi tambang memunculkan pertanyaan kritis, apakah ormas keagamaan memiliki kapasitas yang cukup untuk berbisnis pertambangan?
La Husen Zuada, Universitas Tadulako
Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan kebijakan kontroversial yang membolehkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 25 Tahun 2024 yang diteken Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada akhir Mei lalu.
Kebijakan ini mendapat respons cukup beragam. Kalangan masyarakat sipil seperti Publish What You Pay (PWYP), WALHI, YLBHI, AMAN dan JATAM memberikan kritik keras. Mereka menganggap kebijakan ini berpotensi memperluas korupsi, memperparah kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan meningkatkan konflik horizontal.
Ormas-ormas keagamaan yang memiliki keterkaitan langsung atas kebijakan ini memiliki sikap berbeda satu sama lain. Nadhlatul Ulama (NU), misalnya, menyatakan akan memanfaatkan tawaran itu, meski ada beberapa kubu internal yang tampaknya tak nyaman dengan ide ini.
Ini sangat berbeda dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang menyatakan tak akan akan mengambil tawaran pemerintah. Sementara itu, Muhammadiyah belum menyatakan sikap, meski para elitnya menyarankan untuk menolak tawaran tersebut.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya