Selasa, 10 Des 2024, 00:00 WIB

Selama Masih Bergantung pada Impor, RI Rentan terhadap Gejolak Harga Pangan Global

Stabilitas Harga I Tingkat Ketahanan Pangan Indonesia di Bawah Rata-rata Global

Foto: antara

JAKARTA – Indonesia rentan terhadap gejolak harga pangan global yang melonjak signifikan pada November lalu karena kebergantungan pada impor. Karena itu, pemerintah perlu serius mengakhiri impor pangan lantaran kian menyandera produktivitas negara.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan ke depan perlu diantisipasi tren kenaikan pangan karena perubahan iklim, konflik geopolitik, lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan spekulasi oleh penguasa tata niaga dan distribusi pangan global. Dampaknya tergantung pada seberapa besar tingkat ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

"Impor pangan besar besaran dalam beberapa tahun belakangan cerminan lemahnya kedaulatan pangan dan kedaulatan rakyat, baik dalam produksi dan distribusi (tata niaga) pangan," tegas Awan, Senin (9/12).

Untuk itu, papar dia, upaya swasembada pangan mulai 2025 perlu dikawal bersama sebagai sebuah gerakan nasional untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan ekonomi nasional. Upaya ekstensifikasi dan intensenfikasi untuk menggenjot produksi dinilianya tak cukup. "Untuk itu, perlu revitalisasi dan penguatan organisasi dan koperasi tani," tandas dia.

Dalam 11 tahun terakhir, rakyat Indonesia menghabiskan 84,8 miliar dollar AS atau setara 1,272 triliun rupiah untuk belanja enam dari sembilan barang kebutuhan pokok/sembako, seperti beras, susu, bawang, garam, daging, dan gula dari pasar internasional.

Tingkat ketahanan pangan Indonesia juga di bawah rata-rata global. Pada 2022, Indonesia berada di urutan ke-69 dari 113 negara dalam Global Food Security Index (GFSI) yang dibuat oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Skor ketahanan pangan Indonesia pada 2022 adalah 59,2, sedangkan rata-rata global adalah 62,2.

Seperti diketahui, harga komoditas pangan global pada November terus meningkat meskipun laju kenaikannya melambat. Adapun komponen terbesar dalam indeks kenaikan tersebut adalah harga biji-bijian dan sereal.

Cuaca Ekstrem

Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO), pada akhir pekan lalu, merilis indeks harga pangan bulanan termasuk mencatat kenaikan signifikan masing-masing tiga bulan sebelumnya termasuk November. Pada November, kenaikan terbilang moderat yakni 0,5 persen dan kenaikan bervariasi pada tiga dari lima subindeks.

Pengamat pertanian dari Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan meskipun laju kenaikannya melambat, kenaikan harga komoditas pangan global tetap menjadi tantangan serius bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Dengan catatan bahwa harga biji-bijian dan sereal mengalami penurunan, namun faktor cuaca ekstrem dan biaya transportasi yang meningkat tetap mempengaruhi pasar.

Dalam konteks ini, ujar dia, upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor, terutama beras yang dalam dua tahun terakhir mengalami lonjakan signifikan. "Kenaikan harga pangan global memperlihatkan betapa rentannya sistem pangan yang bergantung pada impor. Ketergantungan yang tinggi pada pangan luar negeri dapat menyebabkan kerentanan terhadap fluktuasi harga dan pasokan," tegas Muliarta.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: