Sekolah Ilmu Lingkungan UI Bangun Balai Bambu di Kampung Nelayan
Suasana peresmian balai bambu yang dihadiri warga Kampung Nelayan Muara Angke
Depok - Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) membangun rumah Balai Bambu di RT 06, Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, sebagai program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (Pengmas) UI yang telah dilakukan sejak Agustus hingga Desember 2020.
"Pengabdian dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Kampung Nelayan ini penting untuk revitalisasi masyarakat pesisir dan ruangnya. Hal ini karena esensi kegiatan berkaitan dengan aspek ekosistem, masyarakat, infrastruktur, dan perekonomian di sana," kata Ketua Program Studi (prodi) Ilmu Lingkungan UI, Dr. Hayati Sari Hasibuan dalam keterangannya, Rabu.
Rumah Balai Bambu ini diresmikan oleh Ketua Program Studi (prodi) Ilmu Lingkungan UI, Dr. Hayati Sari Hasibuan dan dihadiri oleh beberapa pihak yaitu Ketua Lurah Pluit Ahmad Rosiwan, Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Dr. Ivan Syamsurizal, serta Dr. Denny M. Sundara dari PT Wijaya Karya.
Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh warga Kampung Nelayan Muara Angke dengan menerapkan protokol kesehatan.
Peresmian rumah balai bambu merupakan acara puncak dari program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (Pengmas) UI yang telah dilakukan sejak Agustus hingga Desember 2020, dan terintegrasi dengan program pengabdian masyarakat lain seperti Edukasi Urban Farming, kegiatan UI Mengajar, dan Aksi UI untuk Anak-anak.
Dr. Denny mengatakan bahwa permukiman di pesisir bukan untuk dijauhi, namun masyarakatnya perlu adaptif dalam memanfaatkan sumber daya alam yang sesuai untuk membangun wilayah permukimannya.
"Karena pesisir merupakan tempat tumbuhnya ekonomi masyarakat dan pusat pembelajaran masyarakat, sehingga stigma mengenai penghapusan wilayah pesisir terutama di Jakarta dapat dihilangkan," katanya.
Pendapatnya didukung Dr. Ivan Syamsurizal, yang menekankan pentingnya adaptasi dari masyarakat pesisir, agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi permukiman yang sebenarnya berada di atas permukaan laut.
Program pengmas ini dilatarbelakangi oleh kondisi rumah permukiman di kawasan pesisir yang masih dibuat dalam pola yang sama dengan lingkungan yang tidak mengalami banjir rob.
Rumah bambu yang adaptif mampu merespon masalah alam dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Material bambu memiliki karakteristik yang mampu beradaptasi dengan kondisi alam laut, selain itu harganya relatif lebih murah.*
Redaktur : Khairil Huda
Komentar
()Muat lainnya