Kamis, 13 Feb 2025, 19:37 WIB

SEAMEO RECFON Rilis Hasil Temuan Awal Studi Action Against Stunting Hub

Diseminasi temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) dan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Foto: Istimewa

SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) – Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) menyelenggarakan diseminasi temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) dan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Temuan awal studi AASH Indonesia menunjukkan bahwa stunting bukan hanya masalah gizi, tetapi juga terkait dengan faktor epigenetik, kesehatan saluran cerna, infeksi, mikrobiota, serta kesehatan mental ibu. Diperlukan pendekatan intervensi interdisiplin dan berbasis bukti, dengan fokus pada pangan lokal, suplementasi mikronutrien, serta dukungan kesehatan mental bagi ibu.

Country Lead Studi AASH di Indonesia, Dr. Umi Fahmida mengatakan hasil temuan awal studi ini dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan stunting.

“Kami memang mendedikasikan data-data yang kaya untuk dimanfaatkan, tidak hanya untuk ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan,” kata Umi.

Diseminasi hasil temuan awal tersebut dibuka oleh Direktur SEAMEO RECFON Dr.dr.Herqutanto. MPH., MARS., Sp.KKLP, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.S, dan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS.

AASH merupakan studi interdisiplin yang bertujuan menyusun tipologi stunting melalui pendekatan anak secara utuh atau "whole child approach". Penelitian itu dilaksanakan pada 2019-2024 di tiga negara yakni India, Indonesia dan Senegal. Untuk Indonesia, penelitian tersebut diselenggarakan di Lombok Timur. Studi itu terdiri dari (1) kohort ibu hamil yang dilanjutkan hingga anak mereka berusia 24 bulan, yang di dalamnya terintegrasi studi intervensi pemberian telur (3 telur/minggu) pada ibu hamil sebagai makanan tambahan untuk mengetahui efektivitas peningkatan kualitas asupan selama kehamilan terhadap epigenetik dan stunting pada bayi, (2) studi kasus control anak stunted dan anak non-stunted, (3) studi pada saudara kandung dari bayi kohor yang berusia PAUD, serta (4) studi sistem pangan.

Selama periode tersebut, berbagai pengumpulan data dilakukan berdasarkan pendekatan anak secara utuh. Pertama profil asupan dan status gizi, epigenetik, genetik dari anak dan kedua orang tua, serta kesehatan saluran cerna (komponen fisik). Kedua, perkembangan anak meliputi proses berpikir, kemampuan bahasa dan motorik, kesiapan belajar, serta asuhan psikososial (komponen kognitif). Ketiga, lingkungan belajar anak usia dini (komponen pendidikan). Keempat, lingkungan pangan termasuk WASH, keamanan pangan dan rantai nilai pangan dari makanan padat gizi (komponen pangan). Pengumpulan data dilakukan di beberapa tahapan pada 1.000 hari pertama kehidupan yakni masa kehamilan, menyusui dan periode makanan pendamping ASI.

Komponen Kognisi

Hasil temuan awal studi AASH dari aspek kognisi menunjukkan 65 persen perkembangan anak-anak di Lombok Timur termasuk dalam kategori rata-rata namun belum optimal, karena dipengaruhi berbagai aspek seperti epigenetik, microbiome dan gizi terutama untuk usia satu hingga dua tahun. 

“Kami juga meneliti kakak atau saudara kandung anak tersebut yang berusia tiga hingga enam tahun, dan hasilnya juga perkembangannya rata-rata dan belum berkembang dengan baik,” Ketua Tim Peneliti Komponen Kognitif, Dr Risatianti Kolopaking, Psikolog.

Sementara pada anak stunting, stimulasi yang diberikan oleh ibu ataupun pengasuh juga kurang optimal dan perlu pengayaan dan juga alat bantu bagi para ibu, sehingga membantu proses pendidikan dan kesiapan anak bersekolah.

Temuan lainnya, permasalahan kesehatan mental pada ibu perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan anak, baik yang berusia satu hingga dua tahun ataupun pada anak usia prasekolah. 

Stimulasi yang kurang optimal pada anak stunting tersebut ternyata turut mengganggu perkembangan motorik kasar anak, seperti berjalan, berlari, keseimbangan. Padahal hal tersebut merupakan aspek penting bagi perkembangan anak ke depan terutama pada kesiapan anak bersekolah.

Komponen Pendidikan

Sementara dari komponen pendidikan, temuan awal dari studi AASH menunjukkan kualitas guru PAUD sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Guru yang memiliki latar belakang sarjana terutama lulusan PAUD akan menumbuhkan lingkungan pembelajaran yang sehat.

Studi itu juga tak hanya meneliti guru PAUD dibawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tetapi juga dibawah Kementerian Agama (Kemenag). Dari temuan awal diketahui bahwa guru yang mengajar di Raudhatul Athfal (RA) masih kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesionalitasnya.

“Kami juga melakukan penelitian terkait shared value, ternyata memang didapatkan hasil dimana ketika guru sudah memperoleh pemahaman yang lebih baik atau memperoleh kesempatan untuk belajar lebih banyak, maka layanan yang diberikan bisa jauh lebih baik dari pada guru yang mungkin tamatan SMA dan hanya mengikuti kursus,” jelas Ketua Tim Peneliti Komponen Pendidikan, Dr. Rita Anggorowati MPd.

Rita menambahkan dari sisi lingkungan pembelajaran juga diketahui bahwa layanan sanitasi dan air bersih yang baik, turut memengaruhi perkembangan anak ke arah positif. Di sisi lain, pelibatan dan pemberdayaan orang tua melalui kegiatan, lokakarya pendidikan bagi masyarakat dan guru, serta pembaruan rutin mengenai kegiatan sekolah menjadi harapan masyarakat dalam meningkatkan tumbuh kembang dan kesiapan belajar anak. 

Komponen Fisik

Peneliti SEAMEO RECFON dan Ketua Tim Peneliti Komponen Fisik Dr. Min Kyaw Htet mengatakan selain studi kohort yang dilakukan di tiga negara (India, Indonesia, dan Senegal), di Indonesia kami memiliki studi kasus kontrol (The Early Year Study) yang membandingkan anak stunted dan anak yang tidak stunted, dan memberikan kesempatan kepada kami untuk mereplikasi temuan dalam studi kohort. Ini merupakan kekuatan dari desain studi AASH di Indonesia.

Studi juga menemukan bahwa selenium memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak, tetapi seringkali tidak cukup diperhatikan dalam intervensi gizi. Inflamasi sistemik dan infeksi saluran cerna berdampak pada pertumbuhan anak dengan mengganggu hormon pertumbuhan. Sementara, epigenetik dapat memprediksi risiko stunting, terutama pada anak perempuan. Selanjutnya, kecepatan pertumbuhan tertinggi anak pada usia 3 bulan (saat ASI eksklusif) dan mulai melambat saat periode pemberian makanan pendamping ASI (ASI) dan mencapai kecepatan paling rendah pada usia14 bulan.

Komponen Pangan

Ketua Tim Peneliti Sistem Pangan Dr. Umi Fahmida mengatakan dari temuan awal lingkungan pangan diketahui responden mengalami kesulitan akut (>70%) dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan padat gizi yang diteliti (sayuran hijau daun, ayam, ikan).

Berdasarkan kandungan gizi, perlu keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik, khususnya pada zat gizi yang bermasalah, dan juga perlunya kombinasi protein hewani, contohnya makanan yang memadukan hati, telur dan tahu atau tempe untuk dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap. 

“Namun aspek ‘desirability’ pangan padat gizi ini belum optimal dan memerlukan promosi. Promosi pangan sehat selama ini dilakukan tenaga kesehatan, namun dari analisa Agrifood kami menemukan ternyata pedagang sayur secara spontan mengatakan bisa dititipkan untuk promosi pangan sehat,” kata Umi. Pengolahan pangan padat gizi yang kaya dengan zat besi, kalsium, seng dan folat (disingkat: bekal solat) juga diperlukan, contohnya dibuat abon hati ayam, biskuit ikan teri dan lainnya,” jelas Umi lagi. Terkait keamanan pangan, kontaminasi mikroba pada rantai pangan ditemukan masih tinggi, khususnya pada pedagang eceran. 

Umi yang juga Country Lead AASH Indonesia menambahkan perlu adanya tindak lanjut dari temuan awal itu. Akan dilakukan analisa dampak paparan seperti gizi, mikrobioma, kesehatan usus, parasit, patogen, stres emosional, maupun lingkungan rumah dalam 1000 hari pertama kehidupan terhadap status epigenetik pada anak dan risiko stunting. 

Paket pembelajaran anak usia dini (early years practice toolkit) akan disusun berdasarkan komponen kognisi dan pendidikan. Integrasi lingkungan pangan, keamanan pangan dan Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) untuk meningkatkan akses terhadap pangan yang aman dan bergizi akan dianalisa lebih lanjut untuk penguatan system pangan. 

Kemudian perlu alat bantu untuk pengambil kebijakan dalam upaya penurunan stunting yang lebih efektif mencakup komponen fisik/biologi, perilaku, pangan dan pendidikan. 

Studi AASH yang didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF) bertujuan untuk mempercepat upaya penurunan stunting melalui pendekatan anak secara utuh (Whole Child Approach). Studi itu dilakukan pada tahun 2019 hingga 2024 di tiga negara (India, Indonesia, Senegal), dengan Lombok Timur terpilih sebagai lokasi studi di Indonesia. AASH Indonesia dikoordinasikan oleh SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) – Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI).

Studi AASH mengadopsi pendekatan holistik yang fokus pada pendekatan anak secara menyeluruh. Penelitian itu merancang intervensi yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi, dan mengembalikan beberapa karakteristik utama dari stunting. Pendekatan yang menyeluruh tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari aspek fisik (nutrisi, kesehatan saluran cerna, epigenetik, mikrobiom), lingkungan tempat tinggal (pola makan, perilaku, patogen, parasit), hingga pendidikan (kognisi, perkembangan anak usia dini, pengasuhan), serta sistem pangan yang lebih luas (rantai nilai pangan, keamanan pangan, dan lingkungan pangan). Semua domain tersebut terhubung oleh nilai-nilai sosial yang secara langsung mempengaruhi pengalaman hidup anak.

Tanggapan Pemangku Kepentingan

Selain diseminasi temuan awal studi AASH, juga dilakukan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang dipandu Rektor Universitas YARSI Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D dan sejumlah penanggap diantaranya Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Lovely Daisy MKM, Widyaprada Ahli Utama Direktorat PAUD Ditjen PAUD Dikdasmen Ir. Djajeng Baskoro, M.Pd dan Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional, Yusra Egayanti, S.Si., Apt., M.P.

Dr Lovely Daisy menyampaikan bahwa target nasional penurunan angka stunting hingga 14% pada tahun ini menghadapi tantangan besar. Berdasarkan data tahun 2022-2023, angka stunting hampir mencapai 20% di beberapa wilayah, dengan tingkat prevalensi lebih tinggi di beberapa daerah tertentu.

“Intervensi kesehatan telah dilakukan secara lintas sektor untuk mencapai target ini, namun terdapat kendala dalam pemenuhan gizi dan kesehatan ibu serta anak. Intervensi yang telah lakukan mencakup suplementasi dan fortifikasi makanan, termasuk program Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) yang kini telah menjadi bagian dari kebijakan nasional,” jelas Dr. Lovely Daisy. 

Program MMS menggantikan pemberian tablet tambah darah dengan suplemen yang mengandung 15 jenis vitamin dan mineral untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan mencegah stunting sejak dalam kandungan.

Sebagai langkah strategis, pemerintah terus memperkuat intervensi berbasis bukti melalui survei gizi nasional serta memprioritaskan daerah dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi.

“Kami akan terus menguatkan program kesehatan ibu dan anak, memastikan akses terhadap suplemen gizi yang memadai, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan imunisasi,” tutup Dr. Lovely Daisy.

Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional, Yusra Egayanti, menegaskan pentingnya aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan pangan dalam meningkatkan pola konsumsi masyarakat. Hal tersebut menjadi kunci dalam menjamin kecukupan gizi, terutama dalam upaya pencegahan stunting. Dalam dua tahun terakhir, data menunjukkan bahwa ketersediaan sumber protein hewani masih belum mencukupi kebutuhan nasional. 

Sesuai dengan rekomendasi WHO, salah satu faktor penyebab stunting adalah kualitas pangan yang kurang memadai, selain faktor lain seperti pola asuh dan pemberian MPASI. Oleh karena itu, intervensi terhadap pola konsumsi menjadi sangat penting guna meningkatkan kualitas pangan bagi masyarakat.

"MPASI merupakan intervensi penting dalam seribu hari pertama kehidupan. Selain menjaga stabilitas ketersediaan pangan, edukasi dan promosi konsumsi makanan yang seimbang juga diperlukan," ujar Yusra Egayanti.

Kualitas konsumsi pangan harus terus dipantau, mengingat skor konsumsi pangan di beberapa daerah masih perlu ditingkatkan. Khususnya dalam hal konsumsi protein hewani yang masih rendah. 

Sementara Widyaprada Ahli Utama Direktorat PAUD Ditjen PAUD Kemendikdasmen, Ir. Djajeng Baskoro, M.Pd, menegaskan pentingnya komitmen bersama dalam memperkuat pendidikan anak usia dini (PAUD) yang holistik dan integratif. Hingga saat ini, sebanyak 250 kabupaten/kota telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait PAUD Holistik Integratif di Indonesia, menunjukkan semakin luasnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini.

"Dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat, sosialisasi dilakukan kepada berbagai pihak, termasuk orang tua dan masyarakat luas. Literasi mengenai tumbuh kembang anak dan pengasuhan menjadi fokus utama dalam peningkatan kualitas pendidikan PAUD di Indonesia." katanya

Kerja sama dengan sektor lain seperti POSMAS (Posyandu Masyarakat) serta kementerian terkait, khususnya Kementerian Kesehatan, menjadi bagian integral dalam memastikan layanan yang lebih baik. Salah satu aspek penting adalah pengawasan kualitas makanan tambahan yang diberikan di PAUD.

Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang memadai masih menjadi kendala besar dalam penyelenggaraan PAUD. Saat ini, hanya 67% satuan PAUD yang telah memenuhi indikator sanitasi yang ditentukan. Infrastruktur sanitasi yang layak sangat diperlukan untuk mendukung lingkungan belajar yang sehat bagi anak-anak.

Redaktur: Sriyono

Penulis: Muhamad Ma'rup

Tag Terkait:

Bagikan: