![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Urgensi Penggunaan Kendaraan Listrik, Salah Satunya Kurangi Kebergantungan Impor BBM
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin.
Foto: antara fotoJAKARTA - Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menekankan urgensi penggunaan kendaraan listrik sebagai solusi mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan polusi udara.
"Kalau kita lihat dari sisi energi, Indonesia itu saat ini kebutuhan energinya, mengimpor yang utama itu dua. Yang pertama adalah minyak, yang sangat banyak digunakan untuk transportasi, terutama transportasi darat. Yang kedua adalah LPG untuk masak," ujar Rachmat dalam diskusi di Jakarta, Rabu (12/2).
Rachmat mengatakan minyak menjadi penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 persen kebutuhan minyak nasional dipenuhi melalui impor, dengan rata-rata pengeluaran mencapai Rp250 triliun per tahun selama lima tahun terakhir.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus menanggung beban subsidi BBM yang mencapai Rp170 triliun dalam periode yang sama, demi menjaga mobilitas masyarakat tetap terjangkau.
Adapun polusi udara, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, juga menjadi masalah serius. Dia menyebut bahwa 40 hingga 60 persen polusi udara berasal dari emisi kendaraan bermotor.
"Kalau musim hujan, udara lagi bagus kualitasnya. Tapi kalau di musim kemarau, kondisi udara yang buruk, itu kita juga sudah lihat, data-datanya, sekitar 40 sampai 60 persen polusi udara itu bersumber dari emisi gas buang," ucap dia.
Rachmat menilai kendaraan listrik berbasis baterai sebagai solusi yang sudah matang secara teknologi untuk mengatasi masalah ini.
Dengan beralih ke kendaraan listrik, ketergantungan terhadap impor BBM dapat dikurangi secara signifikan, karena listrik sebagai sumber energi utama sepenuhnya bersumber dari domestik, baik dari energi fosil maupun terbarukan.
Biaya operasional kendaraan listrik berbasis baterai juga dinilai lebih murah dibandingkan kendaraan berbasis BBM.
Namun, Rachmat mengingatkan bahwa transisi ke kendaraan listrik tidak hanya tentang penggunaan, tetapi juga perlu memastikan bahwa infrastruktur dan ekosistem pendukungnya siap.
"Oleh karena itu kita merasa benar-benar ekosistem kendaraan listrik ini cocok untuk Indonesia. Tapi kita juga perlu memastikan bahwa kita jangan hanya berpikir penggunaannya. Bahwa orang-orang Indonesia banyak yang berpindah ke kendaraan listrik. Kita juga harus berpikir bagaimana ekosistemnya itu terbangun," kata dia.
Berita Trending
- 1 PLN UP3 Kotamobagu Tanam Ratusan Pohon untuk Kelestarian Lingkungan
- 2 Belinda Bencic Raih Gelar Pertama
- 3 Masih Jadi Misteri Besar, Kementerian Kebudayaan Dorong Riset Situs Gunung Padang di Cianjur
- 4 Ada Efisiensi Anggaran, BKPM Tetap Lakukan Promosi Investasi di IKN
- 5 Regulasi Pasti, Investasi Bersemi! Apindo Desak Langkah Konkret Pemerintah