Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Religiusitas dan Budaya Demokrasi

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Dengan membaca konteks tersebut diatas tentunya sangat relevan kita menyandingkannya dengan diskursus keagamaan dan budaya demokrasi bangsa ini, dimana kita dikenal sebagai bangsa timur yang memegang teguh prinsip religiusitas baik pada ranah budaya maupun politik pemerintahan, dimana nalar politik kita bukan sekular yakni memisahkan agama dengan negara, akan tetapi sosio-religiusitas yang menjadikan agama sebagai nilai dalam mengatur kehidupan bernegara.

Secara sederhana, sebenarnya rakyat Indonesia sudah cerdas menempatkan perilaku keagamaannya dalam konteks demokrasi, pun dalam preferensi politiknya, sehingga sangat disayangkan jika para kontestan, dalam hal ini pasangan capres-cawapres yang bertarung justru lebih sibuk menonjolkan sisi religiusitasnya dibandingkan sisi literasi politik yang mencerahkan.

Politisasi Agama Berbeda dengan Wuthnow yang membaca arah positif dari campur tangan agama dalam hal partisipasi politik, Seorang Filosof Perancis, Tocqueville, justru melihat adanya kecenderungan negatif keterlibatan agama dalam politik. Dikatakannya "ketika agama bersekutu dengan kekuatan politik, ia akan semakin berpengaruh terhadap satu kelompok, tetapi ia kehilangan harapan untuk merengkuh semua yang lain (2002)".

Nalar inilah yang akan menarik persepktif mengenai politisasi agama, dan tampaknya pola inilah yang sedang dilakukan oleh para kontestan politik dengan melakukan simbolisasi serta visualiasi kegaamaan yang diperankan oleh pasangan capres atau cawapres. Visualisasi politik seperti ini pada akhirnya secara massif membangun sebuh framing politik bahwa publik sedang disuguhi pertarungan religi dan adu religiusitas, bukan lagi pertarungan pada tataran subtantif atas persoalan yang ingin diselesaikan.

Nalar serta model kampanye seperti ini harus segera diakhiri jika memang menghendaki budaya demokrasi yang lebih objektif dan edukatif. Hentikan simbolisasi keagamaan yang hanya menjadi lipstik bagi sebuah kata 'elektoral" atau meraih suara, dan tidak secara subtansi mendorong kesadaran publik untuk berpartisipasi politik secara waras.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top