Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Religiusitas dan Budaya Demokrasi

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Publik tampaknya semakin bingung melihat arah gagasan yang ingin ditawarkan oleh para kontestan politik yang sedianya akan bertarung dalam Pemilu mendatang.

Alih-alih mencoba menjelaskan peta jalan gagasan yang bersinggungan langsung dengan sektor kepentingan publik, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, para kontestan sibuk dengan gimmick dan pencitraan diri dengan membawa simbol keagamaan dan sebagai wujud penegasan bahwa dirinya adalah sosok yang religius.

Dalam kultur masyarakat Indonesia yang religius, pembawaan diri yang menampakkan simbol atau perilaku religi sudah tentu tidak perlu dianalisis secara berlebihan, namun demikian disini kita sedang membicarakan siapa dan dalam konteks apa kemudian simbol keagamaan tersebut dikapitalisasi secara politis.

Secara kolektif, ruang publik kita menyepakati untuk tidak mempolitisasi agama, baik dalam hal simbol maupun tekstual nash ayat suci sebagai bentuk pembenaran politis untuk meraih suara dan menegasikan liyan. Ketika nalar ini coba diliterasikan dalam perilaku politik atau budaya demokrasi publik, ternyata disaat yang bersamaan para elite politik justru melakukan banalitas dengan memberikan tontonan perilaku yang sebaliknya.

Pertanyaannya, ada apa dengan budaya demokrasi kita dewasa ini ?. Kedua kubu yang harusnya bertarung dalam level kontestasi politik yang lebih edukatif dengan mengajak konstituen untuk mengkritisi gagasan yang ditawarkan, namuan apa daya konstruksi berpikir tersebut mengalami kegagalan sehingga menyeret publik untuk menikmati tontonan politik yang penuh dengan pencitraan "siapa yang paling religius".

Model pertarungan politik yang menegasikan gagasan setidaknya bisa dikarekan dua hal: Pertama, tim pemenangan tidak cukup memiliki ide atau gagasan yang mampu ditawarkan atas persoalan yang ingin dipecahkan atau kedua, adanya ketidakpercayaan diri apakah gagasan yang ditawarkan mampu menjawab keinginan publik, sehingga berujung pada persoalan elektabilitas yang nantinya akan diperoleh.

Tidak bisa dipungkiri para kontestan harus mengejar batas minimal parlementarial threshold maupun presidential threshold untuk selamat diperiode kontestasi selanjutnya, sehingga dengan adanya perasaan was-was itulah harus ditemukan model kampanye yang mampu menarik perhatian publik, meski kemudian tidak lagi menyasar pada persoalan gagasan akan tetapi pencitraan diri, termasuk adanya upaya untuk mengkapitalisasi simbol-simbol keagamaan.

Religiusitas

Publik menyadari bahwa politik adu religiusitas yang ditunjukkan oleh para kontestan politik merupakan pola komunikasi visual yang sama sekali kontraproduktif dengan arah pembelajaran politik yang diharapkan publik. Kontestasi politik harusnya memberi literasi kepada publik untuk melihat secara objektif siapa yang pantas untuk dipilih tentunya dengan didasarkan pada aspek intelektualitas, loyalitas, kredibilitas, profesionalitas, dan akuntabilitas, yang semuanya dapat dibaca sekaligus dalam sebuah "narasi politik" yang ditawarkan kepada publik.

Dan sekali lagi bukan pada pokok bahasan, siapa yang paling religius. Porsi ini tentunya bukan kemudian dinegasikan, akan tetapi pertarungan Pemilu adalah pertarungan politik untuk melihat sosok yang memiliki kemampuan untuk memimpin negara dengan mendasarkan pada kriteria mendasar diatas, dan tentu akan lebih baik jika kecakapan personal didukung oleh watak religius.

Kita harus memahami dengan benar, bahwa agama dan negara, atau perilaku religi menjadi dasar bangsa ini membangun kehidupan bernegara. Hal tersebut sangat jelas terlihat dalam Pembukaan UUD 1945, dimana sebagai bangsa kita sepakat untuk mendasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai jalan keridhoan untuk menjalankan pemerintahan, dalam diskursus yang lebih makro kita bisa menyebutkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kajian yang menarik dilakukan oleh Saiful Mujani (2007), dalam bukunya "Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Paska Orede Baru" yang mencoba memberikan gambaran perihal relasi agama dengan partisipasi politik. Dikatakannya menurut Wuthnow (1999, 334) bahwa "anggota-anggota gereja yang aktif akan cenderung diperkenalkan pada ajaran agama seperti bagaimana mencintai sesama dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.......".

Pun, pada kesempatan yang sama dengan dilatarbelakangi studi keagamaan di negara Brasil dan Korea Selatan yang mengilustrasikan bahwa agama dapat memberikan kontribusi positif bagi demokrasi dan partisipasi politik. McDonough, Shin, dan Moises (1998) dalam Saiful Mujani mengatakan "agama menjadi faktor penggerak demokrasi; ia tidak hanya mendorong, tapi juga menjadi salah satu faktur utama bagi aksi kolektif"

Dengan membaca konteks tersebut diatas tentunya sangat relevan kita menyandingkannya dengan diskursus keagamaan dan budaya demokrasi bangsa ini, dimana kita dikenal sebagai bangsa timur yang memegang teguh prinsip religiusitas baik pada ranah budaya maupun politik pemerintahan, dimana nalar politik kita bukan sekular yakni memisahkan agama dengan negara, akan tetapi sosio-religiusitas yang menjadikan agama sebagai nilai dalam mengatur kehidupan bernegara.

Secara sederhana, sebenarnya rakyat Indonesia sudah cerdas menempatkan perilaku keagamaannya dalam konteks demokrasi, pun dalam preferensi politiknya, sehingga sangat disayangkan jika para kontestan, dalam hal ini pasangan capres-cawapres yang bertarung justru lebih sibuk menonjolkan sisi religiusitasnya dibandingkan sisi literasi politik yang mencerahkan.

Politisasi Agama Berbeda dengan Wuthnow yang membaca arah positif dari campur tangan agama dalam hal partisipasi politik, Seorang Filosof Perancis, Tocqueville, justru melihat adanya kecenderungan negatif keterlibatan agama dalam politik. Dikatakannya "ketika agama bersekutu dengan kekuatan politik, ia akan semakin berpengaruh terhadap satu kelompok, tetapi ia kehilangan harapan untuk merengkuh semua yang lain (2002)".

Baca Juga :
Curi Start Pilpres

Nalar inilah yang akan menarik persepktif mengenai politisasi agama, dan tampaknya pola inilah yang sedang dilakukan oleh para kontestan politik dengan melakukan simbolisasi serta visualiasi kegaamaan yang diperankan oleh pasangan capres atau cawapres. Visualisasi politik seperti ini pada akhirnya secara massif membangun sebuh framing politik bahwa publik sedang disuguhi pertarungan religi dan adu religiusitas, bukan lagi pertarungan pada tataran subtantif atas persoalan yang ingin diselesaikan.

Nalar serta model kampanye seperti ini harus segera diakhiri jika memang menghendaki budaya demokrasi yang lebih objektif dan edukatif. Hentikan simbolisasi keagamaan yang hanya menjadi lipstik bagi sebuah kata 'elektoral" atau meraih suara, dan tidak secara subtansi mendorong kesadaran publik untuk berpartisipasi politik secara waras.

Agung SS Widodo, M.A, Peneliti Sosial Politik Pusat Studi Pancasila UGM

Komentar

Komentar
()

Top