Publik Berhak Pertanyakan Perkembangan 'Food Estate'
MASYHURI Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM - Apalagi food estate yang mengerjakannya dua kementerian, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Pertahanan. Kalau tidak transparan, publik bisa menduga hanya proyek bagi-bagi duit.
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Publik dinilai berhak untuk mengetahui program-program yang sudah dijalankan pemerintah termasuk perkembangan pembangunan lumbung pangan (food estate). Hal itu penting mengingat dalam beberapa waktu terakhir ancaman akan krisis pangan terus menghantui, sehingga masyarakat sewajarnya mencari tahu kesiapan pemerintah menghadapi kondisi tersebut.
Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masyhuri, mengatakan pernyataan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, bahwa food estate tidak usah dibicarakan lagi adalah pernyataan menyesatkan. Sebab, setiap anggaran negara yang dibelanjakan, publik berhak mempertanyakan tingkat keberhasilannya.
"Apalagi food estate yang mengerjakannya dua kementerian, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Pertahanan. Kalau tidak transparan, publik bisa menduga hanya proyek bagi-bagi duit karena Kemenhan kurang proyek," kata Masyhuri.
Mentan, katanya, harus mengklarifikasi dengan jelas pernyataannya bahwa food estate telah sukses padahal kabar dari berbagai sumber selama ini justru menunjukkan bahwa proyek tersebut gagal.
"Kan kabar dari banyak pihak food estate tersebut gagal, kalau bilang berhasil ya tidak apa-apa, tapi ya dukung dengan data yang akurat. Pemerintah kan semestinya punya kewibawaan mengenai fakta lapangan," kata Masyhuri.
Dia menekankan pentingnya organisasi pengelola food estate apakah korporasi atau petani kecil. Salah satu bisa dipilih dan masing-masing memiliki konsekuensi pengelolaan yang berbeda meskipun targetnya tetap saja sama yakni food estate sukses dan stok pangan nasional meningkat.
Jika memilih koperasi petani, pemerintah bisa melakukan program perbaikan transmigrasi lama yang bertujuan meningkatkan skala usaha pertanian. Misalnya, petani transmigran diberi lahan dua hektare, dengan pengelolaan seperti KUD di tiap unit desa, ada bank yang terlibat, ada kios sarana produksi dan pengolahan paska produksi. "Transmigran dikasih 2-5 hektare dengan pengelolaan baru ala food estate yang sekaligus memperbaiki struktur kepemilikan bagi usaha tani," tandas Masyhuri.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan justru menjadi baik jika food estate dibincangkan, didebatkan sama masyarakat, justru itu menunjukkan bahwa masyarakat memiliki perhatian terhadap program yang digadang-gadang akan berkontribusi pada ketahanan pangan. Bukan sebaliknya, melarang memperbincangkan atau dikritik.
"Memang salah satu tantangan dari awal program food estate ini adalah transparansi program, termasuk anggaran dan pengelolaannya," tegas Badiul.
Apalagi, salah satu problem yang selalu muncul selama ini adalah impor beras sebagai bahan utama makan masyarakat. "Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih fokus lagi meningkatkan produksi padi petani agar kebergantungan pada impor beras dapat disetop," kata Badiul.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, alokasi dana untuk ketahanan pangan sebesar 114,3 triliun rupiah atau naik 13,4 triliun rupiah dibanding tahun 2023 yaitu 100,9 triliun rupiah, yang di dalamnya mencakup food estate.
Kepemilikan Lahan
Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, menegaskan food estate di Kabupaten Gunung Mas merupakan salah satu food estate terburuk yang pernah dibangun oleh pemerintah kita. "Penggundulan hutan yang begitu luas, namun hasilnya berubah-ubah dari singkong menjadi jagung," tegasnya.
Perubahan tanaman di food estate dari singkong menjadi jagung. Menurut Huda, jika diubah berarti proyeknya gagal.
Pada kesempatan terpisah, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan masih banyak persoalan di tingkatan petani yang harus diselesaikan dengan kehadiran pemerintah.
Peningkatan produksi, kata Qomar, bisa dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, tidak harus dengan pembukaan lahan baru yang justru menghabiskan anggaran dan menimbulkan banyak persoalan baru.
Sebagian besar petani kita adalah petani gurem, tidak mempunyai luasan lahan yang cukup, untuk bisa berproduksi yang bisa mendapatkan penghasilan yang layak untuk petani. Karena itu, SPI lebih cenderung mendorong pemerataan kepemilikan lahan pertanian.
"Di beberapa tempat yang sudah redistribusi lahan untuk petani, terbukti bisa meningkatkan produktivitas lahan, termasuk penghasilan dan kesejahteraan petani," pungkasnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Retno Marsudi Diangkat Jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Terbarukan Singapura
- CEO Nvidia Jensen Huang Sebut 'Era AI telah Dimulai'
- Messe Duesseldorf Ajak Industri Plastik dan Karet Indonesia Akselerasi Penerapan Industri Hijau Melalui Pameran K
- Edukasi Pentingnya Nutrisi Toko Susu Hadirkan Area Permainan
- Survei Indikator: Pemilih KIM Plus Banyak Menyeberang ke Andika-Hendi di Pilgub Jateng