Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 18 Sep 2021, 00:04 WIB

PLTS Harus Segera Dibuka Bebas, Tak Perlu Bangun PLTU Fosil Baru

TIDAK PERLU BANGUN PLTU BARU LAGI I Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara dengan kapasitas total 1600 Megawat. Pemerintah tidak perlu membangun pembangkit listrik dengan menggunakan energi fosil lagi seperti PLTGU muara karang tersebut jika pemerintah memberi insentif untuk mendorong masyarakat menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau rooftop yang terbukti lebih bersih dan tidak menimbulkan polusi.

Foto: ISTIMEWA

» Masyarakat harus diberi insentif untuk menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

» PLTS Atap harus terbuka bebas untuk semua, baik industri, perumahan, dan usaha tanpa diskriminasi.

JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta harus melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang baru. Larangan itu sebagai bentuk komitmen Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang menyatakan tidak akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan pencemaran udara di Ibu Kota.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melalui Biro Hukum menyatakan menerima putusan tersebut dan siap menjalankannya demi udara di Jakarta yang lebih baik.

"Hari ini juga, PN Jakpus mengabulkan gugatan Koalisi Ibu Kota terkait polusi udara, Pemprov DKI memutuskan tidak akan banding," kata Anies melalui akun Twitter @aniesbaswedan yang dipantau di Jakarta, Kamis (16/9).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang diminta pendapatnya mengatakan putusan pengadilan harus menjadi trigger bagi pemerintah untuk melakukan perubahan dalam pemanfaatan energi dengan memprioritaskan energi bersih.

Berkaitan dengan itu, Fabby menyoroti belum adanya insentif untuk mendorong masyarakat menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (rooftop). Instruksi Gubernur yang ada saat ini hanya berlaku bagi gedung-gedung di Jakarta, itu pun hanya dibatasi sampai 500 KVA, terlalu kecil.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, katanya, semestinya bisa memberi insentif, misalnya kredit bunga rendah melalui Bank DKI bagi masyarakat yang berminat memasang PLTS Atap.

"Harus ada aksi nyata Pemprov DKI setelah putusan itu sebagai bentuk ketaatan pada hukum," kata Fabby.

Jika semua perumahan diberi insentif untuk bangun PLTS Atap dan bisa salurkan ke jaringan PLN, konsumen rumah tangga akan hemat listrik karena PLTS terbukti lebih murah dari energi kotor lainnya. Selain itu, masyarakat secara langsung mengurangi polusi udara dengan tidak adanya tambahan PLTU yang berbahan fosil batu bara.

Dengan lingkungan hidup yang lebih sehat maka warga Ibu Kota lebih sehat, sehingga pemerintah bisa menghemat biaya kesehatan bagi mereka yang sakit akibat polusi.

Selain komitmen dari Pemprov DKI, PLN harus mengubah aturannya yang ribet dengan tidak membatasi masyarakat dalam pemanfaatannya.

"Semua orang harus punya hak yang sama, harus ada persetujan atau Net Metering Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN, listrik yang tersisa harus disalurkan ke PLN sehingga tidak perlu membangun PLTU baru.

Misalnya sebuah rumah tangga beli 1.000 watt dari PLN, digunakan 400 watt, kan ada yang gak terpakai, ada sisa listrik 600 watt, itu harus bisa dijual lagi ke PLN dengan harga 100 persen (sama saat dia beli). Jadi rumah tangga kan gak harus punya baterai untuk menyimpan. Baterai untuk perumahan harganya mahal.

Seluruh dunia, khususnya di negara maju, memberlakukan aturan seperti itu, kenapa kita tidak," katanya.

Kalau betul-betul komitmen maka Indonesia harus konsisten menjalankan. Bukan berjanji ke negara-negara lain membangun energi bersih, tapi di dalam negeri tidak terlaksana.

Sumber Polusi

Lebih lanjut dikatakan, polusi udara di Jakarta sumbernya dari PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) serta gas buang kendaraan bermotor. Dengan putusan PN Jakarta Pusat maka pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan ambang batas baku mutu ambien udara yang sehat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan menjamin hak lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada masyarakat.

Konsekuensinya secara perlahan mulai mendorong penggunaan kendaraan listrik dan konversi pembangkit listrik dari bebasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menempatkan alat pengukur polusi dengan jumlah yang memadai mengacu pada penelitian dari beberapa ahli. Alat itu mencatat informasi kualitas udara secara real time dan upaya mitigasinya. Tak kalah penting adalah penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.

Secara terpisah, Khalisah Khalid dari Wahana Lingkungan Hidup yang juga sebagai salah satu penggugat, mengaku lega karena Majelis Hakim membuktikan bahwa pengadilan bisa menjadi jalan untuk warga yang ingin mendapatkan keadilan.

"Kami sebagai penggugat sekaligus warga akan mengawal perubahan kebijakan yang dimandatkan oleh pengadilan terhadap tujuh tergugat. Kami berharap para tergugat tidak mengajukan banding, karena yang kami gugat sesungguhnya adalah untuk kepentingan, kesehatan, dan keselamatan seluruh warga negara, termasuk generasi mendatang agar mendapatkan kualitas hidup yang baik," tutur Khalisah.

Peduli Lingkungan

Sementara itu, Pakar Energi Terbarukan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ahmad Agus Setiawan, mengatakan bahwa isu polusi udara menjadi ranah umum masyarakat menuntut agar pimpinan eksekutif menunjukkan kepedulian lebih kepada komitmen lingkungan.

Secara filosofis, masyarakat yang berdaya dan paham akan situasi dan kondisi lingkungan menuntut agar semakin bersih dan aman lingkungannya. Apalagi mengenai isu global warming dan climate change, pemimpin dunia sudah menyepakati untuk terus-menerus bekerja untuk mengurangi emisi karbon guna memastikan manusia bisa bertahan di planet bumi.

Pilihannya antara lain dari sisi supply energy adalah memperbanyak opsi untuk clean energy, renewable energy, dan sustainable energy dan menggantikan secara bertahap energi konvensional yang berbasis fossil fuel sebagai penyebab emisi dan polusi selama ini.

Pemerintah, menurut Ahmad Agus, sudah menyatakan komitmen untuk penurunan emisi menjadi net zero emission pada 2050.

"Maka menjadi penting adalah tindakan dan eksekusi serta bukti dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah untuk hari ini dan ke depan agar terus menunjukkan komitmen yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan," katanya.

Pada kesempatan lain, Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan pemerintah mendorong penerapan ekonomi hijau untuk kehidupan yang lebih lestari dan berkelanjutan dengan menargetkan penurunan emisi karbon hingga 80 persen pada 2050. Emisi karbon Indonesia sendiri pada 2015 lalu mencapai 35 miliar ton.

"Kita tahu emisi karbon betul-betul luar biasa, sebanyak sekitar 70 persen dari emisi karbon dioksida disumbang oleh energi berbasis fosil," kata Yustinus.

Pada tahun 2000 lalu, emisi karbon dioksida yang dihasilkan mencapai 23 miliar ton dalam satu tahun. Sebab itu, pemerintah berencana memungut pajak karbon untuk semakin menekan emisi karbon dioksida ke depan.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.