Pilkada Bebas Ambisi Pribadi
Pakar Komunikasi Politik Dr. Benny Susetyo.
Pilkada, yang idealnya menjadi mekanisme demokratis untuk menyeleksi pemimpin berintegritas, telah tereduksi menjadi ajang transaksional. Kartel politik sekelompok elit yang mendominasi dan mengendalikan jalannya proses politik adalah salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada. Mereka menentukan calon pemimpin bukan berdasarkan kompetensi atau integritas, melainkan kepentingan kelompok.
Dalam skema ini, prinsip meritokrasi hancur, digantikan oleh kekuatan transaksional yang melanggengkan kekuasaan sekelompok kecil orang.
Pemimpin yang lahir dari kartel politik hampir selalu menjadi boneka yang dikendalikan oleh kepentingan para patronnya. Kebijakan yang mereka buat jarang mencerminkan aspirasi rakyat, karena prioritas utamanya adalah melayani kepentingan para elit yang mendukung mereka. Rakyat, dalam situasi ini, menjadi pihak yang paling dirugikan, karena kepemimpinan yang dihasilkan lebih berorientasi pada melanggengkan kekuasaan daripada membawa perubahan nyata.
Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat demokrasi dan otonomi daerah, di mana kepentingan rakyat seharusnya menjadi yang utama.
Selain kartel politik, politik uang merupakan masalah kronis yang menghancurkan integritas Pilkada. Banyak calon pemimpin yang memanfaatkan kekuatan finansial untuk membeli suara, menjadikan Pilkada ajang transaksi, bukan kompetisi ide dan gagasan. Masyarakat sering kali menjadi objek yang diperjualbelikan suaranya melalui uang atau bantuan sosial, terutama menjelang pemilihan.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Lili Lestari
Komentar
()Muat lainnya