Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 04 Jul 2024, 00:04 WIB

Pertumbuhan Produktif Nasional Tidak Mampu Kejar Beban Utang

Foto: Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and - KJ/ONES

JAKARTA - Utang pemerintah semakin menumpuk. Beban utang Indonesia dinilai sudah semakin berat. Pertumbuhan ekonomi yang benar-benar produktif, yang tumbuh dari industri dalam negeri, sudah tidak mampu mengejar beban utang, baik itu bunga maupun cicilan utang yang terus melesat.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, kepada Koran Jakarta, Rabu (3/7), sepakat bahwa beban utang Indonesia sudah semakin berat. Untuk itu, pemerintah diminta mengambil langkah-langkah serius guna mengatasi utang yang terus membengkak.

"Menurut saya, sekarang beban utang potensinya semakin meningkat, ditambah lagi tren penerimaan pajak semakin turun secara general dari tahun ke tahun. Artinya, ruang fiskal Indonesia semakin kecil," kata Esther yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip).

Karena itu, ia menyarankan sejumlah hal penting yang harus dilakukan, memprioritaskan program yang berdampak positif dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kemudian, anggaran harus benar-benar efektif dan target output-nya harus jelas. "Misalnya, program makan siang gratis tahap pertama sebesar 70 triliun rupiah, juga harus dimonitor pelaksanaannya dan dievaluasi dampaknya," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Mei 2024 mencapai 8.353,02 triliun rupiah. Dengan jumlah utang tersebut, rasio utang pemerintah mencapai 38,71 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi utang pada Mei 2024 tersebut meningkat jika dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar 8.338,43 triliun rupiah atau 38,64 persen terhadap PDB.

Manajer Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah mengalami persoalan serius dalam mengelola APBN meski selalu mengatakan bahwa APBN sehat dan aman. Kenyataanya, utang masih menjadi skema penerimaan negara sehingga angkanya terus membengkak menyentuh 8.000 triliun rupiah.

"Pemerintah tidak hati-hati mengelola APBN. Harusnya pemerintah bisa lebih optimal dalam mendorong efektivitas dan efisiensi anggaran untuk belanja pemerintah," kata Badiul.

Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, sangat khawatir terhadap jumlah utang Indonesia yang semakin menggunung.

Menurutnya, beban bunga yang tinggi menjadi faktor utama yang membuat utang negara sulit terkejar meskipun ada pertumbuhan ekonomi. "Memang ada pertumbuhan. Dari 5 persen pertumbuhan ekonomi nasional, yang benar-benar produktif paling hanya 2-2,5 persen, sisanya dari konsumsi. Pertumbuhan yang 2,5 persen itu, sampai kapan pun tidak akan mampu mengejar beban utang yang sudah mencapai 8.000 triliun rupiah lebih," kata Maruf.

Ia juga menyoroti bahwa Debt to GDP Ratio Indonesia yang sudah mendekati 40 persen. Dengan beban bunga rata-rata 6 persen, pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya 2,5 persen tidak akan mampu menutup utang. "Kita berada di titik nadir di mana beban utang sudah melebihi pertumbuhan nasional," katanya.

Beratnya beban utang Indonesia ini disebabkan oleh utang luar negeri. Ditambah lagi rupiah terus melemah yang berarti penerimaan negara dari pajak menurun, semakin tidak mampu mengejar kewajiban utang.

Berbeda kasusnya dengan negara-negara lain yang jumlah utangnya besar, namun sebagian besar berasal dari dalam negeri. "Kalau di Amerika dan Jepang, mereka berutang pada diri sendiri, dan juga cadangan devisa mereka sangat besar," tuturnya.

Moratorium Obligasi Rekap

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shani Buana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, menyoroti bahwa banyak penyelenggara negara yang sudah tidak perduli dengan kondisi negara.

"Mereka sudah EGP, 'Emang Gue Pikirin', dengan kondisi negara. Akibat terlalu lama dibuat EGP lihat saja kondisinya seperti apa sekarang, beban utang sudah semakin tinggi," katanya.

Karena itu, solusinya adalah menghentikan atau memoratorium pembayaran bunga obligasi rekap. "Harus stand still. Sangat tidak masuk akal bank yang sudah mengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia selama 26 tahun terus kita bayar. Mana ada di dunia kreditur tiba-tiba menjadi debitur dan membagi dividen kepada pengemplang BLBI. Berapa lama keuangan negara bisa bertahan kalau kita bleeding terus-menerus seperti sekarang ini," katanya.

Redaktur: M. Selamet Susanto

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.