Penggunaan Hewan untuk Penelitian Akan Segera Berakhir
Foto: afp/ ANNE-CHRISTINE POUJOULATPenelitian berbasis hewan telah berkontribusi pada temuan penting dan kemajuan medis. Namun biologi hewan yang terlalu berbeda dengan manusia telah membawa sejumlah masalah sehingga perlu cara lain untuk memperoleh alat uji yang menyerupai biologi manusia untuk meningkatkan mutu pengobatan.
Jutaan hewan pengerat, anjing, monyet, kelinci, burung, kucing, ikan, dan hewan lainnya begitu menderita setiap tahun untuk tujuan penelitian di seluruh dunia. Angka pastinya sulit didapat, tetapi kelompok advokasi Cruelty Free International memperkirakan bahwa 192 juta hewan digunakan pada tahun 2015.
Penelitian berbasis hewan telah berkontribusi pada temuan penting dan kemajuan medis yang menyelamatkan nyawa. Sebagian besar pekerjaan ini terjadi dalam empat domain luas yaitu kosmetik dan produk pribadi, pengujian toksisitas kimia, pengembangan obat, dan penelitian penemuan obat.
Vaksin Covid misalnya pertama kali dikembangkan pada hewan seperti tikus dan primata nonmanusia. Hewan percobaan juga penting dalam memajukan obat AIDS dan dalam mengembangkan pengobatan untuk leukemia dan kanker lainnya, di antara banyak kegunaan lainnya.
Tetapi penelitian pada hewan sering kali gagal menghasilkan hasil yang bermanfaat. Sebuah penelitian tahun 2014 memperkirakan bahwa terapi kandidat untuk penyakit Alzheimer yang dikembangkan pada hewan percobaan telah gagal dalam uji klinis sekitar 99,6 persen. "Seiring dengan semakin kompleksnya isu tentang biologi dan variabilitas manusia, kita mulai menghadapi batasan hewan percobaan," kata Paul Locke, seorang ilmuwan kesehatan lingkungan dan pengacara di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health kepada Scientific American.
Selama ini tidak ada cara untuk menghindari penggunaan hewan untuk penelitian. Padahal sebenarnya biologi hewan terlalu berbeda dari biologi manusia. Spesies hewan kini dianggap tidak lagi memberi wawasan tentang biologi manusia termasuk pada tingkat seluler dan subseluler yang dibutuhkan para ilmuwan saat ini untuk mencapai inovasi.
Komunitas peneliti multidisiplin yang terus berkembang di seluruh dunia sedang menyelidiki alternatif untuk hewan percobaan. Beberapa termotivasi oleh kekhawatiran tentang kesejahteraan hewan, tetapi bagi banyak orang menyelamatkan nyawa jutaan hewan yang sebelumnya mengalami penderitaan itu.
Mereka terutama didorong untuk menciptakan teknologi dan metode yang akan mendekati biologi dan variabilitas manusia lebih baik daripada hewan. Selama sekitar satu dekade terakhir, puluhan laboratorium, perusahaan rintisan, dan kelompok nirlaba telah mengejar metode alternatif yang berkisar dari alat pembelajaran mesin (machine learning) berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Pembelajaran mesin disebut dapat memprediksi toksisitas kimia hingga organ-on-a-chip (penelitian berbasis chip organ) hidup yang dapat dikombinasikan untuk mereplikasi sistem organ manusia. Bahkan upaya mereka kini telah matang hingga ke titik di mana beberapa laboratorium menghentikan penggunaan hewan sepenuhnya. Penelitian juga mulai menunjukkan bahwa metode baru ini sering kali memberikan jawaban yang jauh lebih akurat daripada hewan percobaan.
Pada 2021, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghentikan pengujian hewan dalam penelitian. Badan sains nasional Australia bahkan mulai serius mengeksplorasi percobaan non-hewan untuk pengembangan produk medis.
"Konvergensi perkembangan dalam undang-undang, industri, dan sains ini akan membawa perubahan besar dalam cara kita melakukan penelitian biomedis," kata Danilo Tagle, direktur sebuah kelompok di Institut Kesehatan Nasional AS yang memimpin desakan di seluruh institusi untuk berinvestasi dalam alternatif hewan percobaan.
Tahun ini, Institut Kesehatan Nasional (NIH) meluncurkan dana sebesar 300 juta dollar AS yang secara khusus digunakan untuk mendukung pengembangan, validasi, dan pengujian alternatif non-hewan untuk penyaringan obat, pemodelan penyakit, dan banyak lagi.
Sumber daya ini akan menjadi tambahan dari 8 persen anggaran penelitian NIH sebesar 40 miliar dollar AS yang telah diberikan untuk metode alternatif, persentase yang telah meningkat selama 15 tahun terakhir. "Kami melihat adanya konvergensi dalam legislasi, industri, dan perkembangan ilmiah," kata Tagle.
Pada 1937, ketika 12 pasien datang ke Archibald "Archie" Calhoun dengan keluhan infeksi, dokter dari Covington County, Mississippi ini melakukan apa yang sering dilakukannya. Ia menulis resep untuk sulfonamida, antibiotik yang telah digunakan selama bertahun-tahun.
Dalam beberapa hari, enam pasien meninggal. Perusahaan farmasi yang memproduksi sulfanilamide telah menambahkan bahan baru ke dalam formula rasa rasberi yaitu dietilen glikol, sejenis antibeku yang ternyata mematikan.
"Kesadaran ini telah memberi saya penderitaan mental dan spiritual selama berhari-hari yang tidak pernah saya percayai dapat dialami dan bertahan hidup oleh manusia," tulis Calhoun.
Bencana sulfanilamida, sebagaimana insiden itu kemudian dikenal, merenggut nyawa lebih dari 100 orang, banyak di antaranya anak-anak. Kongres menanggapinya dengan Undang-Undang Makanan, Obat, dan Kosmetik Federal, seperangkat undang-undang yang dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada perusahaan yang akan lagi tanpa sadar menjual obat beracun.
Di antara hal-hal lain, undang-undang tersebut mengharuskan obat baru yang sedang dikembangkan untuk diuji pada hewan sebelum diberikan kepada manusia. "Keberhasilan awal hewan percobaan adalah untuk menjauhkan produk-produk mengerikan ini dari pasaran," kata Locke.
Tahap Awal
Saat ini hewan percobaan masih dianggap sebagai standar untuk penelitian farmasi dan penemuan obat, sebagian karena banyak orang di komunitas ilmiah masih mendapatkan manfaat darinya dan sebagian karena hewan percobaan merupakan status quo. Namun, sejauh mana penggunaan hewan di AS tidak diketahui.
Undang-undang federal tidak mengharuskan peneliti untuk mengumumkan jumlah tikus, mencit dan tiga spesies burung yang mencakup lebih dari 95 persen subjek pengujian yang dibiakkan untuk tujuan penelitian. Demikian pula, tidak ada analisis komprehensif yang menghitung jumlah penelitian yang didanai pemerintah AS yang menggunakan hewan percobaan, menurut Tagle.
People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), memperkirakan bahwa kurang dari setengah dana penelitian NIH digunakan untuk penelitian berbasis hewan. Organisasi di luar pemerintah dan akademisi juga menggunakan hewan untuk penelitian.
Humane Society of the United States memperkirakan bahwa lebih dari 50 juta hewan digunakan untuk tujuan penelitian setiap tahun di AS saja. Locke dan yang lainnya mengatakan bahwa pertanyaannya bukan apakah pengujian hewan akan dihapuskan dari sebagian besar penelitian, tetapi tak diketahui kapan hal itu akan berlaku.
"Semua orang menyadari bahwa tujuannya adalah untuk akhirnya mencoba menggantikan hewan," kata Naomi Charalambakis, Direktur Asosiasi Kebijakan Sains di Federation of American Societies for Experimental Biology, sebuah kelompok nirlaba yang mewakili 22 masyarakat ilmiah dan lebih dari 110.000 peneliti di seluruh dunia.
Namun, penggunaan hewan percobaan tidak akan segera menghilang dari penelitian. "Kita masih dalam tahap awal," kata Charalambakis. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Pemerintah Kukuhkan JK Sebagai Ketum, Sekjen PMI Versi Agung Laksono Tolak Surat Jawaban Kemenkum
- Hati Hati, Ada Puluhan Titik Rawan Bencana dan Kecelakaan di Jateng
- Malam Tahun Baru, Ada Pemutaran Film di Museum Bahari
- Kaum Ibu Punya Peran Penting Tangani Stunting
- Trump Tunjuk Produser 'The Apprentice', Mark Burnett, sebagai Utusan Khusus untuk Inggris