Kamis, 21 Nov 2024, 00:00 WIB

Penanganan Kemiskinan Jangan Andalkan Bansos

PENGEMBANGAN SDM I Peserta mengikuti pelatihan budi daya sayuran hidroponik yang merupakan bagian dari program CSR ITDC di Green House Hydroponik Hydroku di Dusun Lenser, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, Nisa Tenggara Barat (NTB), Rabu (2

Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi

Pemerintah harus kembali mengembangkan reskilling di industri padat karya guna melahirkan industri yang kompetitif secara global.

JAKARTA – Indonesia perlu belajar dari Brasil dan Tiongkok dalam mengatasi kemiskinan. Keterbukaan akses mobilitas sosial terhadap setiap rumah tangga menjadi pintu awal perbaikan ekonomi rumah tangga. Bansos (bantuan sosial) tidak mengatasi kemiskinan.

Peneliti lingkungan Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, menegaskan kunci untuk mempercepat pertumbuhan ekomomi salah satunya dengan mengatasi kemiskinan. Sebab, rumah tangga nantinya menjadi motor penggerak pertumbuhan dengan daya beli dan konsumsinya.

Hafidz menambahkan keluarga-keluarga yang terentaskan dari kemiskinan secara substansial melalui proses reskilling (peningkatan keterampilan) dan akses pekerjaan layak, akan berkontribusi mendorong pertumbuhan secara signifikan. Menurutnya, pemerintah perlu mencermati strategi Tiongkok dan Brasil dalam mengatasi kemiskinan, tidak cukup hanya menggunakan basis bantuan sosial (bansos).

"Yang dibutuhkan adalah akses mobilitas sosial melalui perbaikan kualitas akses untuk anak dari keluarga miskin melalui pendidikan dan kesehatan yang terintegrasi, serta kesempatan kerja di sektor-sektor padat karya yang diproteksi langsung oleh negara, sehingga dalam waktu satu dekade mendatang, anak-anak ini dapat akses pekerjaan layak, sementara orang tuanya perlahan sudah mulai bisa masuk ke standar hidup layak," tegas Hafidz, Rabu (20/11), menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memuji Brasil di KTT G20, belum lama ini.

Menurut Hafidz, Indonesia sebenarnya sudah meniru Brasil sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan penerapan PKH (Program Keluarga Harapan) yang mengacu bolsa familia era Presiden Lula. Namun pekerjaan rumah seriusnya, Lula mengerjakan ini bersamaan dengan pengembangan ekonomi kolektif perdesaan untuk reformasi sektor pertanian dan integrasi dengan industrialisasi, seperti pengembangan bahan bakar nabati sebagai agenda hilirisasi pertanian.

"Di Indonesia, akses ini tidak dibarengi dengan rencana ekonomi strategis, maka rata-rata penerima PKH dan kelompok miskin lainnya berkutat di sektor informal, terutama perdagangan dan jasa-jasa yang non skill," ungkap Hafidz.

Dia menegaskan pemerintahan Presiden Prabowo harus serius menata ulang skema bansos ini, sambil menata sistem kartu prakerja yangselama ini masih berbasis proses dibanding output, dan sangat banyak kebocoran yang dibiarkan.

"Harus kembali ke rencana awal reskilling di industri padat karya yang merupakan pintu masuk bagi keluarga miskin dengan pendidikan dan skill rendah, namun dikembangkan melalui on job training. Untuk skenario ini Indonesia bisa belajar dari apa yang dikerjakan Tiongkok dan Vietnam sehingga melahirkan industri padat karya yang kompetitif secara global," ungkapnya.

Perubahan Struktural

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan kejujuran mengakui persoalan mendasar adanya kemiskinan dan kelaparan tersebut awal yang penting untuk mendorong perubahan struktural yang nyata. 

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: