Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 25 Des 2024, 07:30 WIB

Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat

Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Foto: ANTARA/Muhammad Ramdan

Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menganulir kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat menunjukkan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto pada rakyat.

"Ini saatnya Presiden Prabowo menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan PPN 12 persen di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi," kata Direktur Hukum Celios Mhd Zakiul Fikri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Dari hasil kajian Celios, kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan inflasi secara signifikan. Berkaca pada pengalaman 2022, perubahan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen menimbulkan lonjakan inflasi dari 3,47 persen (yoy) menjadi 4,94 (yoy). Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen nantinya diperkirakan dapat membuat inflasi menyentuh 4,11 persen (yoy) pada tahun depan, dari posisi terakhir 1,55 persen (yoy) pada November 2024.

Meningkatnya inflasi berpotensi memicu pelemahan konsumsi rumah tangga. Dari perhitungan Celios, kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau Rp4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN 12 persen (dikaitkan dengan asumsi inflasi). Sedangkan, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1,2 juta per tahun.

Meningkatnya jumlah pengeluaran, lanjut Zakiul, berbanding terbalik dengan peningkatan pemasukan dari gaji bulanan. Sebagai contoh, rata-rata kenaikan gaji di Indonesia pada 2023 hanya 2,8 persen atau setara dengan Rp89.391 per bulan.

Pada tahun yang sama, jumlah pengangguran menyentuh angka 11,7 persen, salah satunya dipicu oleh pemutusan hubungan kerja (PHK). Per November 2024, telah terjadi PHK terhadap 64.751 orang.

Atas berbagai kondisi itu, Zakiul menilai, Pemerintah memiliki urgensi untuk membatalkan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

"Ketentuan mengenai pemungutan pajak seharusnya dapat mewakili kepentingan rakyat atau publik, sejalan dengan prinsip tidak ada pajak tanpa keterwakilan (no taxation without representation). Ketika data menunjukkan bahwa kenaikan PPN berdampak pada krisis ekonomi bagi masyarakat dan menghantarkan rakyat ke jurang kemiskinan, maka berarti secara materiil norma perundang-undangan yang memerintahkan kenaikan PPN tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum," jelas dia.

Ia menggarisbawahi tujuan norma hukum dibuat bukan hanya untuk kepentingan kepastian hukum (rechtszekerheid), tetapi harus pula memuat kemanfaatan-kepatutan dan keadilan hukum (billijkheid en rechtvaardigheid).

Bila kebijakan PPN 12 persen dalam UU HPP tetap dijalankan, dia khawatir dapat menyebabkan timbulnya masalah hukum (rechtsprobleem) atau bahkan kekacauan hukum (rechtsverwarring).

"Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM dan industri manufaktur, serta potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia," ujarnya.

Oleh sebab itu, ia berpendapat keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.

Namun, mengingat kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk membuat atau merevisi undang-undang melalui prosedur biasa, karena proses yang panjang dan DPR sedang masa reses hingga 15 Januari 2025, Pemerintah bisa menggunakan jalur penerbitan Perppu.

Penerbitan Perppu sering dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni pada kepemimpinan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo. Salah satunya terkait dengan pajak, yaitu Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Kepentingan Pajak. Perppu ini lahir terkait tax amnesty yang lebih banyak dinikmati oleh orang kaya dan pengemplang pajak.

"Kalau Jokowi menerbitkan Perppu untuk orang kaya, ini saatnya Prabowo Subianto meninggalkan bayang-bayang Jokowi dan berpihak pada masyarakat menengah bawah," tuturnya.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.