Selasa, 26 Nov 2024, 06:10 WIB

Neptunus, Planet yang Ditemukan Lewat Perhitungan Matematis

Foto: Space Telescope Science Institut/ESA/WEBB/AFP

Neptunus merupakan planet terjauh kedelapan dari Matahari yang ditemukan lewat perhitungan matematis. Ketidakteraturan dalam orbit Uranus oleh gravitasi objek misterius, mendorong para ilmuwan untuk mencari penyebabnya.

1732551342_24742d479206970e655a.jpg

Ketika menemukan Neptunus, para ilmuwan tidak perlu melihat untuk mempercayainya. Planet kedelapan di tata surya ini hanya terdeteksi melalui ilmu matematika, bukan dengan teleskop seperti planet lain umumnya.

Pada 23 September 1846, para ilmuwan telah mengamati ketidakteraturan dalam orbit Uranus. Dari keanehan ini, mereka menduga ada gravitasi penyeimbang yang tidak terlihat yang menarik planet tersebut dari sisi terjauh.

Astronom Alexis Bouvard menyimpulkan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh gangguan gravitasi dari planet yang tak dikenal. Sebelumnya pada 1821, Bouvard menerbitkan tabel astronomi orbit tetangga Neptunus yaitu Uranus.

Pengamatan selanjutnya menemukan pergeseran dari tabel tersebut, sehingga mendorong Bouvard berhipotesis bahwa suatu benda tak diketahui sedang melakukan perturbasi pada orbitnya melalui interaksi gravitasi.

Setelah itu Neptunus selanjutnya diamati oleh Johann Galle dalam posisi yang diprediksikan oleh Urbain Le Verrier. Dari pengamatan ini tersebut, para peneliti menghitung posisi planet hipotetis, lalu mengarahkan teleskop terbaik mereka ke arah sana.

Jadi penemuan Neptunus dilakukan dengan meneropong objek di antara lautan bintang di langit malam. Hasilnya planet ke 8 dari Matahari ini jaraknya sekitar 30 kali lebih jauh dari Matahari dibandingkan dengan Bumi. Neptunus sendiri berada di pinggiran tata surya dan hampir tidak berada dalam jangkauan teleskop berbasis darat yang ada di Bumi.

Planet tersebut sangat terpencil sehingga misi Voyager 2, satu-satunya wahana luar angkasa yang pernah berkunjung, membutuhkan waktu 12 tahun untuk tiba di sana dari Bumi. Selama empat bulan pada tahun 1989, wahana ini menjelajahi dunia yang jauh itu dan mengumpulkan data berharga tentang fitur-fitur aneh Neptunus.

Neptunus termasuk dalam kelas raksasa es yang anggotanya juga mencakup tetangganya, Uranus. Seperti halnya raksasa gas, kulit terluar Neptunus sebagian besar terdiri dari hidrogen dan helium. Lebih dalam lagi, mantel dan inti tidak lagi mengandung gas, melainkan kaya akan es eksotis yang terkompresi.

Sejak penerbangan lintas Voyager 2, teleskop terestrial yang terus berkembang, teleskop luar angkasa Hubble dan observatorium James Webb telah membawa Neptunus ke pandangan yang lebih jelas. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk memajukan pemahaman mereka tentang langit, meteorologi, dan bulannya.

Neptunus adalah planet yang terus-menerus memperbarui dirinya dan memikat para pengamatnya. Berikut adalah beberapa penemuan paling menarik yang telah dilakukan para ilmuwan tentang planet berwarna samudra itu.

Warna asli Neptunus bukanlah biru tua. Padahal planet ini dinamai menurut dewa lautan karena warnanya yang biru seperti lautan. Penelitian terbaru yang diterbitkan tahun ini mengungkapkan bahwa planet itu sebenarnya memiliki sapuan warna hijau-biru pucat yang mirip dengan Uranus. Namun, Neptunus sedikit lebih biru. Warna biru kehijauannya berasal dari gas metana di atmosfernya yang kaya hidrogen dan helium. Metana ahli dalam menyerap panjang gelombang merah dalam spektrum tampak dan menyebarkan cahaya biru.

Angin di Neptunus mengaduk gas metana dari dasar laut, dan gas tersebut menggumpal pada partikel aerosol di atmosfer, menyebabkan kabut turun sebagai hujan salju. Gas metana Neptunus berasal dari es metana, dan para ilmuwan berpikir bahwa es tersebut hanya terbentuk di dunia yang lebih dingin yang jauh dari Matahari.

Para ilmuwan kemudian berpikir bahwa Neptunus muda kehilangan kecepatan dan membiarkan dirinya dikendalikan oleh gravitasi Matahari, meninggalkan simpanan metananya sebagai petunjuk tempat kelahirannya yang jauh.

Badai Dahsyat

Cuaca yang tidak menentu menghiasi langit Neptunus. Raksasa gas tersebut mungkin terkenal karena memiliki badai terbesar di tata surya, tetapi Neptunus memegang gelar sebagai pemilik angin tercepat. Angin kencang supersonik bertiup dengan kecepatan 1.200 mil per jam, sekitar lima kali lebih cepat daripada hembusan angin terkuat yang pernah terukur di Bumi.

Para ilmuwan masih bingung dengan apa yang mendorong badai dahsyat ini. Sebagai planet terjauh dari Matahari di tata surya kita, Neptunus tidak menerima cukup sinar matahari untuk mempertahankan kecenderungannya yang berangin.

Sebaliknya, beberapa pakar menuding panas bagian dalam Neptunus sebagai sumber tenaga. Nick Teanby, seorang ilmuwan planet di Universitas Bristol di Inggris, mengatakan para ilmuwan masih mencoba mencari tahu apa yang terjadi di dalam planet itu. “Ada sesuatu yang terjadi dengan bagian dalam yang dalam ini,” kata Teanby dikutip dari Smithsonian.

Ukuran Neptunus yang relatif besar empat kali lebih besar dari Bumi memungkinkannya mempertahankan panas purba, sedemikian rupa sehingga memancarkan panas dua kali lebih banyak daripada yang diterimanya dari Matahari. Faktanya, Neptunus lebih panas daripada Uranus yang adalah planet yang lebih dekat Matahari, menurut data Voyager 2.

Selain badai, hujan juga turun di Neptunus bukan tetesan cairan, tetapi berlian. Untuk lebih jelasnya, para ilmuwan belum mengamati hujan batu secara langsung di Neptunus, tetapi mereka menganggapnya masuk akal, karena Neptunus ditutupi oleh selubung gas tebal, yang tekanan dalamnya cukup kuat untuk menempa berlian dari metana di atmosfer.

Eksperimen laboratorium oleh para ilmuwan sejak tahun 1999 telah menciptakan kembali kondisi di dalam Neptunus, dan mereka mengkonfirmasi bahwa tekanan tersebut memang mampu memeras dan memanaskan senyawa organik menjadi batu. Namun, menambang bagian dalam Neptunus yang dalam tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada robot yang dapat bertahan hidup pada tekanan ekstrem planet tersebut.

Planet ini juga memiliki bintik-bintik yang selalu berubah menghiasi permukaannya. Selama penerbangan lintas Voyager 2, wahana antariksa itu mengamati pusaran di tengah awan Neptunus yang kemudian dijuluki oleh para ilmuwan sebagai Bintik Gelap Besar.

Heidi Hammel, seorang astronom planet di Asosiasi Universitas untuk Penelitian Astronomi nirlaba, mengingat pelacakan awan badai ini dengan teleskop darat di Mauna Kea di Hawaii saat dirinya masih menjadi mahasiswa pascasarjana.

Namun, ketika Teleskop Luar Angkasa Hubble mengalihkan pandangannya ke mata gelap Neptunus pada tahun 1994, bintik itu telah menghilang.  hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan: