Negara-negara Kaya Diminta Bantu Atasi Pemanasan Global
BABAYEV Menteri Pemerintah Azerbaijan - Kita jelas perlu meningkatkan kecepatan kerja kita. Waktu yang hilang berarti nyawa, mata pencaharian, dan planet yang hilang.
Foto: ISTIMEWANEW YORK - Tuan rumah pertemuan puncak iklim PBB tahun ini, Conference of Parties (COP) 29, pada hari Rabu (17/7), mendesak negara-negara mulai berkompromi guna memecahkan kebuntuan mengenai cara membantu negara-negara miskin mengatasi pemanasan global.
KTT COP-29 pada bulan November di negara kaya gas, Azerbaijan, seharusnya menghasilkan kesepakatan global tentang bagaimana negara-negara kaya harus membantu mendanai investasi iklim di negara-negara berkembang, tetapi negosiasi telah terhenti.
Dikutip dari Barron, negara-negara berkembang membutuhkan investasi besar-besaran dalam sistem energi untuk mengurangi jejak emisi karbon mereka sekaligus memperkuat pertahanan terhadap dampak pemanasan global.
Namun, negara-negara miskin merupakan negara yang paling tidak bertanggung jawab terhadap emisi karbon, tetapi paling menderita akibat pemanasan global.
Pertemuan diplomatik penting di Bonn, bulan lalu, berakhir dengan kebuntuan pahit karena negara-negara tidak mampu memajukan masalah yang telah mengikis kepercayaan antara negara-negara dalam perundingan iklim selama bertahun-tahun.
Dalam suratnya kepada sekitar 200 negara yang menandatangani perjanjian iklim PBB, Presiden COP-29, Mukhtar Babayev, menyesalkan tidak adanya kemajuan yang diperlukan dan memperingatkan waktu hampir habis.
"Kita jelas perlu meningkatkan kecepatan kerja kita. Waktu yang hilang berarti nyawa, mata pencaharian, dan planet yang hilang," tulis Babayev, seorang menteri pemerintah dan mantan eksekutif di perusahaan minyak nasional Azerbaijan.
Kami mengimbau semua pihak untuk meningkatkan kecepatan kerja mereka dan beralih dari posisi negosiasi awal mereka.
Target Pembiayaan Baru
Negara-negara kaya berada di bawah tekanan untuk berkomitmen pada target pembiayaan baru yang jauh melampaui 100 miliar dollar AS setahun yang mereka janjikan pada tahun 2009.
Negara-negara berkembang, kecuali Tiongkok, perlu meningkatkan anggaran investasi iklim mereka saat ini sebanyak 25 kali lipat menjadi sekitar 2,4 triliun dollar AS setahun pada tahun 2030, menurut penilaian ahli yang ditugaskan oleh PBB, hampir 25 kali lipat dari tingkat saat ini.
Para negosiator belum mencapai kesepakatan mengenai jumlah bantuan dalam bentuk dollar AS, karena negosiasi terhenti pada siapa yang harus membayar, seperti apa bentuk uangnya, dan siapa yang harus menerimanya.
Berdasarkan perjanjian iklim tahun 1992, hanya segelintir negara industri terkaya saat itu yang berkewajiban membayar pembiayaan iklim. Namun, sebagian pihak menginginkan agar jumlah penyumbang diperluas, terutama untuk menyertakan Tiongkok, yang saat ini jauh lebih kaya daripada tiga puluh tahun lalu, dan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.
Hal ini tidak dapat diterima oleh negara-negara berkembang, yang menuduh negara-negara kaya berusaha mengabaikan tanggung jawab mereka.
Untuk mencairkan suasana, Azerbaijan akan menjadi tuan rumah bagi para negosiator untuk pertemuan informal selama dua hari yang dimulai pada tanggal 26 Juli. Mereka telah menunjuk dua diplomat berpengalaman, Dan Jorgensen dari Denmark dan Yasmine Fouad dari Mesir, untuk membantu para pihak mencapai kemajuan.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
Berita Terkini
- Peragakan 44 Adegan, Polda Jateng Rekonstruksi Penembakan Siswa SMKN 4 Semarang
- Semoga Segera Diwujudkan, Presiden Prabowo Perintahkan Setop Impor Beras, Garam, Gula, Jagung
- Sudan Tolak Deklarasi Kelaparan yang Didukung PBB
- Ketegangan Politik di Korsel Makin Mengkhawatirkaan, Penyidik Ajukan Surat Perintah Penangkapan untuk Yoon Suk Yeol
- Gorontalo Utara Lakukan Pengendalian PMK pada Ternak Sapi