NASA Siap Memantau Risiko Bencana Alam di Bumi Lewat Misi Terbaru
Ilustrasi.
Foto: AP/Mustafa KaraliNASA akan meluncurkan sebuah misi luar angkasa NASA-Indian Space Research Organization Synthetic Aperture Radar (NISAR) pada 2024 untuk mengamati perubahan permukaan di seluruh dunia dengan akurasi hingga sepersekian inci.
Dalam pernyataan resminya, NASA menyebut misi tersebut akan membantu para ilmuwan memantau gerakan halus yang terkait dengan tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya. Data dari misi juga dapat menjadi panduan bagi para pembuat kebijakan untuk melindungi nyawa manusia dari sejumlah bencana geologi di masa depan.
Misi ini menjadi krusial mengingat pertumbuhan perkotaan secara global saat ini terjadi pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak populasi yang pada akhirnya bermigrasi ke bentang alam yang berpotensi tidak aman untuk ditinggali seperti lereng bukit. Hal ini tentu menyebabkan akan lebih banyak orang akan terpapar bencana geologi. Atas dasar itu, penting untuk memahami bagaimana pertumbuhan perkotaan memengaruhi permukaan bumi untuk merencanakan dan memitigasi risiko bagi masyarakat.
Di Afrika misalnya, para peneliti baru-baru ini berhasil mengungkap risiko bahaya geologi rayapan tanah di tengah pertumbuhan kota-kota di wilayah itu.
Tim ilmuwan internasional, termasuk salah seorang peneliti dari Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA yang menggabungkan citra satelit dan arsip menemukan perubahan penggunaan air di satu kota di Afrika dapat memengaruhi pergerakan tanah di bawah permukaan, dan menyebabkan longsor.
Studi baru ini memusatkan perhatian pada sebuah kota bernama Bukavu, yang terletak di lereng bukit di Republik Demokratik Kongo. Bukavu sendiri terpilih karena pertumbuhan populasinya yang pesat, tumbuh sekitar dua kali lipat menjadi lebih dari satu juta jiwa pada tahun 2030. Kota yang awalnya didirikan di sepanjang garis pantai yang datar, telah berkembang hingga ke lereng yang curam. Membuat tak sedikit infrastruktur di sana rusak akibat gerakan permukaan tanah.
Menurut para peneliti, rayapan longsor secara alami bergerak secara lambat setiap tahunnya dan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun hingga berabad-abad untuk berkembang menjadi bencana alam. Namun, pembangunan kota yang drastis tanpa perencanaan yang matang dapat mempercepat laju tanah longsor di berbagai pemukiman padat penduduk, terutama di daerah lereng berbatu dengan curah hujan musiman yang tinggi. Pemukiman yang dibangun di atas struktur tanah yang kaya akan tanah liat juga menghadapi risiko serupa.
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. Dibandingkan dengan pergerakan tanah berkecepatan tinggi seperti tanah longsor atau lahar, yang menyebabkan ribuan korban jiwa setiap tahun, rayapan tanah atau jenis tanah longsor yang bergerak lambat tidak menimbulkan ancaman bagi kehidupan manusia. Namun, pergerakan tanah yang perlahan tapi pasti ini juga dapat menyebabkan kehancuran terlebih ketika mereka berakselerasi secara serempak.
Kota Bukavu sendiri disebut peneliti merupakan simbol dari banyak kota di negara berkembang yang mengalami pertumbuhan pemukiman pesat dan tidak terencana pada bentang alam yang aktif secara tektonik. Salah satu zona aktif, yakni wilayah Funu, 80.000 orang tinggal di atas tanah yang terus menerus bergeser hingga 3 meter per tahun. Untuk mengukur gerakan tanah, tim peneliti menganalisis data radar yang dikumpulkan oleh satelit Sentinel-1 dari Badan Antariksa Eropa (ESA) dan satelit COSMO-SkyMed dari Badan Antariksa Italia (ASI).
Pengukuran diolah menjadi peta yang menunjukkan pergerakan tanah. Peta itu kemudian dikaitkan dengan sejumlah faktor pemicu longsor seperti curah hujan, gempa bumi, dan pembangunan perkotaan. Untuk memvisualisasikan dengan lebih baik bagaimana Bukavu telah berubah dalam beberapa dekade terakhir, tim peneliti juga menggunakan foto udara yang diambil selama lebih dari 70 tahun antara 1947 hingga 2018, yang diarsipkan di sebuah museum di Belgia.
Berfokus pada gerakan tanah longsor dari minggu ke minggu selama empat setengah tahun terakhir, para peneliti menemukan bahwa curah hujan, aktivitas tektonik, dan pembangunan perkotaan, semuanya berperan dalam perilaku tanah longsor sepanjang musim dan tahun. Di antara semua faktor, peneliti mencatat limpasan air sebagai faktor yang paling berkontribusi terhadap rayapan tanah. Air melemahkan batuan dengan menginfiltrasi pori-porinya. Di lingkungan perkotaan, infrastruktur seperti jalan, saluran air hujan, dan pipa yang rusak, dapat mengubah aliran air secara drastis, merendam dan membuat bagian lereng menjadi tidak stabil.
"Untuk pertama kalinya, kami dapat mendokumentasikan hubungan yang jelas antara pertumbuhan kota dan percepatan tanah longsor yang bergerak lambat [rayapan tanah]," kata Alexander Handwerger, ilmuwan tanah longsor di JPL dan rekan penulis studi tersebut.
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia