Muhammadiyah soal Rumah Ibadah di Cilegon: Menghalangi Pendirian Rumah Ibadah Agama Resmi Apapun Bukanlah Sikap Negarawan
Foto: IstimewaYOGYAKARTA - Penolakan pendirian rumah ibadah di tanah air bukanlah hal baru. Sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah juga beberapa kali mendapatkan pengalaman serupa di beberapa daerah mayoritas muslim.
Baru-baru ini, kasus serupa terjadi di Cilegon, Banten terkait penolakan pendirian gereja. Umat Kristiani di sana pun harus menempuh 20 km ke Kota Serang untuk dapat beribadah.
Menanggapi problem yang sering terjadi ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Cak Nanto berharap adanya kedewasaan pandangan dari pejabat publik untuk bersikap sesuai konstitusi Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
- Baca Juga: Pangkalpinang Bentuk Satgas Tebang Pohon
- Baca Juga: KPK Periksa Ahok sebagai Saksi Korupsi LNG Pertamina
"Agak riskan kalau ada pemerintah daerah, bukan malah menjembatani rakyatnya untuk melakukan ibadah, itu kan pelanggaran terbesar dalam konstitusi," ujarnya.
Dalam dialog Opsi Media TV bertajuk "Quo Vadis Toleransi Beragama? Pandangan Pemuda Lintas Agama", Senin, (19/9) Cak Nanto menilai kepala daerah seharusnya mendorong pendirian rumah ibadah yang telah berjalan sesuai prosedurnya.
Kemudian, seorang kepala daerah dipilih menurutnya wajib melayani dan mengyaomi semua rakyatnya tanpa terkecuali. Tidak boleh ada politik identitas, politik golongan, dan politik kelompok.
"Kami berharap dia berdiri di atas semua golongan," katanya.
Disinggung adanya upaya-upaya kelompok tertentu yang memang berkepentingan menciptakan situasi disharmoni terkait penolakan rumah ibadah, Cak Nanto menegaskan bahwa tidak ada agama mengajarkan yang tidak baik. Tetapi harus diakui umat banyak yang berbeda-beda.
"Menurut saya ya tinggal apakah kita kalah dengan sebagian kecil orang yang mau disharmonisasi terhadap kehidupan bernegara ini. Problemnya apakah kita mau bersatu, orang-orang yang memiliki kesadaran kebaikan toleransi, mau gak melakukan upaya-upaya itu. Di ajaran kami, kalau kebaikan tidak diorganisir pasti akan kalah dengan keburukan yang terorganisir," katanya.
Hal yang kini perlu dilakukan oleh semua pihak adalah melakukan penyadaran, termasuk bagaimana kebijakan-kebijakan pembangunan rumah ibadah itu.
"Saya kira kompleksitasnya tidak hanya gereja, antar umat Islam saja banyak bermasalah padahal sudah satu agama, apalagi beda agama. Itu problematik terus menerus karena bisa jadi tingkat pendidikan, dan identitas ideologi masa lalu yang terus dibawa dalam proses pembangunan," katanya.
Selain itu menurutnya, tidak bisa juga dinafikan tentang kekhawatiran, misalnya perilaku agama yang eksklusif.
"Jadi memang harus dibangun bahwa oke negara memang memfasilitasi. Tapi juga harus memberikan kriteria, apakah rumah ibadah itu sudah bagian dari kemasyarakatan itu. Jadi jangan sampe pembangunan rumah ibadah malah keluar dari rasa kemanusiaannya," ujarnya.
Cak Nanto mengakui, tak jarang faktor elektoral menjadi salah satu aspek yang mendasari perlakuan diskriminasi seorang kepala daerah seperti seperti dalam kasus baru-baru ini.
"Tarikan-tarikan elektoral itu kadang-kadang dibawa ke dasar ideologi. Padahal dasar ideologi memberikan kesempatan atau ruang kepada kita untuk melakukan ibadah," jelasnya.
Tindakan kepala daerah yang justru menolak pendirian rumah ibadah menurut Cak Nanto, tidak lagi seorang negarawan karena tidak bisa mengayomi mereka yang berbeda.
"Kalau saya meyakini, kalau ada kebijakan tegas dan peduli saya kira tidak ada persoalan rakyat beribadah terhalangi oleh karena penolakan dari sebagian kecil orang," pungkasnya.
Berita Trending
- 1 Kebijakan PPN 12 Persen Masih Jadi Polemik, DPR Segera Panggil Menkeu
- 2 TNI AD Telah Bangun 3.300 Titik Air Bersih di Seluruh Indonesia
- 3 Nelayan Kepulauan Seribu Segera miliki SPBU Apung
- 4 Athletic Bilbao dan Barca Perebutkan Tiket Final
- 5 Banjir Bandang Lahar Dingin Gunung Jadi Perhatian Pemerintah pada 2025