Koran-jakarta.com || Selasa, 25 Feb 2025, 12:35 WIB

Mengenang Tragedi TPA Leuwigajah, Sampah ‘Membunuh Manusia’

  • Pengelolaan Sampah
  • Longsor Sampah di TPA Leuwigajah

Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

Ket. Pada 21 Februari 2005 longsor sampah kembali terjadi di TPA Leuwigajah Cimahi Jabar, menewaskan ratusan orang.

Doc: Koran Jakarta/KPNas

Tragedi longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat yang memakan korban lebih 200 nyawa diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Setiap tahun HPSN diperingati agar diingat peristiwanya dan dipetik hikmahnya.

Tulisan yang disajikan ini bagian dari sejarah pengelolaan sampah yang buruk, menimbulkan malapetaka bagi umat manusia. Saya telah menulis tragedi tersebut dalam buku “Ternyata Sampah Membunuh Manusia” - Tragedi TPA Leuwigajah Sampah Meledak dan Longsor (2005). Merupakan hasil investigasi lapangan dan diperkuat dengan berbagai referensi yang valid. Berikut kutipan-kutipannya.

TPA Leuwigajah, Kota Cimahi/ Bandung, Provinsi Jawa Barat menjadi sangat terkenal dan membuat orang penasaran setelah longsor dan “membunuh” ratusan manusia dan menggulung rumah, ternak, dan segala yang ada di atasnya pada akhir Februari 2005. Wilayah yang paling parah tertimpa malapetaka sampah adalah RW VIII dan RW IX Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kabupaten Bandung serta RW XIII Kampung Pojok, Desa Cirendeu, Kota Cimahi.

Kasus TPA Leuwigajah merupakan Tragedi Kemanusiaan terbesar abad ini.Manusia “dibunuh” oleh sampah yang meledak dan longsor. Sebuah julukan yang tidak mengenakan telinga! Sampah meledak dan longsor membunuh manusia terbanyak di Indonesia?! Tragedi tersebut memiliki derajat nasional dan internasinal. Kematian warga kisaran TPA Leuwigajah murni bermuara pada kesalahan pengelola TPA, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung dan Pemerintah Pusat.

Mereka semua harus bertanggung penuh atas tragedi yang menyayat hati dan meninggalkan trauma sangat mendalam. Trauma tragis itu semakin mencekam ketika mengingat muka dan tubuh korban yang hancur tertimbun sampah dan bau sekali ketika diangkat serta disaksikan sanak saudara dan kerabat-kerabatanya. Kematian yang sia-sia ditelan sampah!

Atas tragedi sampah longsor ini membuat Pemprov Jawa Barat bingung luar biasa, karena puncak pertemuan pemimpin negara-negara Asia Afrika atau dikenal dengan Konferensi Asia Afrika akan digelar di Kota Bandung pada 24 April 2005. Sementara itu sampah menumpuk di pinggir-pingir jalan utama, pasar, permukiman dan lain-lain pasca-lonsgor sampah TPA Leuwigajah. Kenapa harus malu kepada para pemimpin dunia itu, bukan kepada rakyatnya sendiri yang telah memberi amanah jabatan?! Mereka “perang” melawan sampah?!

Sampah longsor akibat pengelolaan yang sembrono, tidak berpijak pada standar-standar internasional atau yang telah dikembangkan negara-negara maju, mengakibatkan malapetaka. Tragedi longsornya TPA Leuwigajah menelan korban nyawa, setidaknya 181 jiwa tewas, 17 orang masih tertimbun sampah, ratusan rumah lenyap tertimbun sampah. Ada yang mengatakan, data korban tewas sebanyak 200 orang. Mereka kini menjadi pengungsi dan ditampung di GOR Batujajar Timur, Kabupaten Bandung. Yang masih hidup menanggung trauma ketakutan luar biasa dan tanpa harapan yang pasti.

Tragedi longsor sampah TPA Leuwigajah masih berbau amis sisa-sisa percikan darah korban dan air mata belum mengering, menyusul bencana sampah longsordi TPS Lembah Ampera Lembang, Kabupaten Bandung. Sebanyak 6 rumah hancur dan menelan korban 2 jiwa. Kematian yang sia-sia dan memalukan. Belum lagi terjadinya tanah longsor di Punclut, Bandung Utara dan beberapa daerah di Propinsi Jawa Barat.

Bencana longsor di wilayah Jawa Barat ini diakibatkan keserakahan dan tindakan konyol, yang tidak memperhatikan tata ruang, yang seharusnya diperuntukkan bagi daerah resapan air namun dikonversikan menjadi permukiman, villa, hotel dan sarana umum lainnya. Berbagai pihak telah memberikan peringatan keras kepada pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki vested interest ekonomis, namun tidak dipedulikan.

Tragedi longsor sampah TPA Leuwigajah menimbulkan beban berat, kesedihan dan duka nestapa yang sangat panjang. Bukan hanya warga biasa atau sipil yang menangis tersedu-sedu, tetapi juga beberapa tentara anggota Koppasus, yang istri, anak dan keluarganya mati tertimbun sampah. Nasib naas itu dialami keluarga Basrian, anggota Kopassus Batujajar. Malam itu istri dan anak Basrian ngendong (bermalam) di rumah kakak iparnya. Ketika gunungan sampah meledak dan longsor jiwa istri dan anaknya tak tertolong. Basrian sendiri sedang piket. Basrian tak mampu menahan air mata dan kesedihan yang telah melilit hidupnya.

Longsor sampah TPA Leuwigajah dan Lembah Ampera Lembang menambah deretan korban malapetaka sampah. Berbagai tragedi pengelolaan sampah yang buruk telah menghempaskan dan merusak manusia dan lingkungan akibat suatu kebijakan dan implementasi yang menafikan partisipasi, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan sampah. Pendek kata, para penguasa belum pro-lingkungan dan hak azasi manusia (human right).

Desentralisasi, pemberian otonomi daerah untuk mengelola daerahnya sendiri, belum merupakan jaminan, bahwa para kepala daerah (Walikota/Bupati) akan lebih tanggap terhadap daerah dan rakyatnya sendiri. Maka belajar dari berbagai kasus tragedi pengelolaan sampah di sejumlah daerah di Indonesia, hendaknya Pemerintah Pusat, yakni Presiden dan Menteri-menterinya mengambil peran dan tanggungjawab sentral untuk membuat suatu perundangan, peraturan, kebijakan dan standar nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Masalah persampahan ini sudah menjadi persoalan yang kompleks pada derajat nasional.

“Predikat Bandung “Kota Kembang” tampaknya harus disimpan sementara waktu. Bencana longsor di TPA sampah Leuwigajah tak hanya menimbulkan dampak di lokasi perkampungan yang tertimpa bencana. Ditutupnya TPA Leuwigajah telah menimbulkan akibat yang lebih besar bagi tiga kota, Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung. Tak memadainya kapasitas penampungan pembuangan sementara di TPA Jelekong menyebabkan tumpukan sampah mudah ditemui seperti “benteng sampah” di Jalan Puter dan “gunung sampah” di Jalan Bungur Bandung. Kreativitas pun dilakukan warga ER 04/RW 21 Komp. Puri Cipageran Indah II Kabupaten bandung yang merancang sistem pembakaran sampah secara langsung dan mampu membakar sekitar 3 kuintal sampah kering dan basah per hari.

Sekilas TPA Leuwigajah

Rencana pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah merupakan bagian dari proyek besar yang dikenal dengan Bandung Urban Development Project (BUDP). Proyek ini dirancang tahun 1980-an. Pada tahun ini dilakukan studi kelayakan akan dibangunannya TPA Leuwigajah, yang letaknya sekitar 15 Km dari Kota Bandung.

Beberapa dokumen pembangunan proyek TPA ini sebagian ada di Jakarta, karena saat itu proyek ditangani oleh Departemen Pekerjaan Umum. Pembangunannya didanai uang pinjaman dari Asian Development Bank (ADB).

Pada tahun 1987-an TPA sampah Leuwigajah mulai dioperasikan dengan menggunakan sistem sanitary landfill. Menurut sejumlah warga kisaran TPA, sistem sanitary landfill tak dijalankan secara efektif dan berjalan hanya 3 tahun. Sesudah kepala Dinas Kebersihan diganti dengan yang baru.

Kemudian pengelolaan sampah menggunakan sistem open dumping, sampah hanya ditumpuk dan semakin lama menjadi gunungan sampah. M. Taufan Suranto dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) - Bandung membenarkan, bahwa sejak tahun 1990 sistem pengelolaan TPA Leuwigajah diganti dengan open dumping.

Suatu sistem pengelolaan sampah yang sangat sederhana dan kuno. Lokasi TPA ini dulunya merupakan cekungan/lembah antara Gunung Aki dan Gunung Leutik. Di bawahnya ada Kampung Pojok Cireundeu, Kapung Gunung Aki, Kapung Cilimus Desa Batu Jajar Timur serta Kampung Bungur Desa Batujajar Timur.

Pada saat pembangunan TPA tersebut belum dibentuk Pemkot Cimahi, yang ada Kabupaten Bandung. Kemudian tahun 2001 ada pemekaran dan diserahkan kepada Kota Cimahi. Pada awalnya luas TPA h Leuwigajah lebih kurang 20 hektar. Kemudian luasnya bertambah menjadi 31,29 hektar. Sebenarnya TPA ini mengalami beberapa kali perluasan. Anehnya kata Taufan, yang mantan Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat itu, TPA ini memiliki 3 kantor, yakni milik Pemkot Cimahi, Bandung dan Kabupaten Bandung.

Gunungan sampah TPA Leuwigajah mencapai 70-80 meter di atas permukiman penduduk dan 700 meter di atas permukaan air laut, diapit dua gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik serta di bagian bawah terdapat KampungCilimus di Kecamatan Batujajar dan Kampung Pojok di Kecamatan Cimahi Selatan yang berada pada ketinggian 640 meter lebih.

Kondisi topografi dan geografis TPA sampah Leuwigajah dapat direkam pada citra satelit SPOT-5 milik Perancis pada tahun 2004 sebelum terjadinya longsor. Citra satelit ini mempunyai resolusi spasial 2,5 meter, yang artinya jika ada obyek yang mempunyai luas sebesar 2,5 m x 2,5 m persegi akan teridentifikasi pada citra. Blok-blok perumahan dan gedung-gedung yang di kawasan industri dapat teridentifikasi dengan jelas, termasuk jalan tol, jalan utama dan jalan yang relatif sempit menuju lokasi TPA sampah. Sebaran sawah dan vegetasi di sekitar TPA juga dapat dikenali secara visual

Pada tahun 1997 pemerintah melakukan studi guna mencari tempat pembuangan akhir sampah dan diputuskan lokasi yang dipilih adalah Leuwigajah, Kabupaten Bandung. Ketika itu Cimahi statusnya masih kecamatan. Tahun 1980 Pemerintah Kota dan Kabupaten Bandung memperoleh izin untuk membangun TPA sampah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya dilakukan pembebasan lahan sampai tahun 1985/1986, yakni selama lima tahun. Desain TPA diselesaikan termasuk pemasangan pipa-pipa penyalur gas methane.

Pada tanggal 13 Januari 1987 TPA Leuwigajah yang luasnya 12 hektare itu dioperasikan untuk pertama kalinya. Rencananya menggunakan sistem sanitary landfill, namun pengelolaannya terbengkelai dan akhirnya menjadi open dumping. Sampah hanya ditumpuk saja dan semakin hari jumlahnya semakin banyak. Pada tahun 1991 Kabupaten Bandung ikut membeli lahan seluas 1 hektar di sebelah timur TPA guna memperluas buangan sampah. Pengelolaan TPA Leuwigajah semua dipegang oleh Pemkot Bandung.

Empat tahun kemudian sejak dioperasikan itu terjadi longsor. Tepatnya pada pukul 19.00 WIB tanggal 1 Februari 1994, longsor pertama terjadi di TPA Leuwigajah yang menimbun 7 rumah dan beberapa petak sawah. Ketika itu, luas TPA sudah bertambah menjadi 17 hektar.

Lahan TPA Leuwigajah terus mengalami perluasan. Tahun 1998 luas TPA ini menjadi 20 hektar. Ketika itu dilakukan pembenahan dengan memasang jarring besi dengan bantuan di sekitar TPA, namun fondasi ambrol kerena tidak kuat menahan beban sampah. Ini longsor kedua, hanya dalam tempo 4 tahun. Sampah longsor, longsor lagi!

Untuk membenahi pengelolaan TPA maka tahun 2001 Pemkot Cimahi ikut mengelola TPA Leuwigajah, sejak kota tersebut memisahkan diri dari Kabupaten Bandung. Setidaknya dengan keterlibatan Pemkot Cimahi akan lebih mampu memperbaiki kinerja pengelolaan TPA. Tetapi apa yang terjadi, empattahun kemudian ketika luas TPA menjadi 25,1 hektar.

Tepat pada tanggal 21 Februari 2005 longsor sampah kembali terjadi. Longsor kali ini menewaskan ratusan orang, puluhan masih tertimbun tanah, belum lagi harta benda mereka yang terurug sampah. Juga ratusan orang yang hidup dalam dalam pengusian tanpa nasib yang jelas. Tragedi sampah longsor sampah itu berulang setiap empat tahun sekali. 

Hikmah Tragedi TPA Leuwigajah

Hikmah yang bisa dan harus dipetik dari tragedi TPA Lewugajah. Pertama, dalam pengelolaan sampah jangan mengandalkan TPA. Sampah yang dibuang ke TPA harus terus berkurangan, sampai pada prosentase yang rendah, 20-30% dan itu hanya sisa-sisa yang tak bisa dikembalikan menjadi sumberdaya.

Kedua, jangan mengelola TPA secara open dumping karena timbulkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan serta melanggar peraturan perundangan, seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan terkait.

Ketiga, sampah harus diolah sedekat-dekatnya dengan sumber. Sampah diolah dengan multi-teknologi dengan melibatkan berbagai stakehoders. Keempat, pemerintah dan dunia usaha (pemilik sampah) harus menfasilitasi dan memberikan insentif kepada siapa saja yang mengelola dan mengolah sampah.

Tim Redaksi:
-
L

Like, Comment, or Share:


Artikel Terkait