Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 29 Des 2021, 18:00 WIB

Mengenal Albertus Soegijapranata, Uskup Pribumi Pertama Indonesia

Foto: istimewa

Albertus Sugiyapranata atau yang lebih dikenal dengan nama lahir Soegija merupakan uskup pribumi Indonesia pertama. Uskup pribumi yang dikenal sebagai "100% Katolik, 100% Indonesia" ini lahir di Surakarta pada 25 November 1896.

Soegija berasal dari keluarga muslim. Sang ayah merupakan seorang abdi dalem di Susuhunan Surakarta. Sementara sang kakek, Soepa, adalah seorang kiai. Sewaktu Soegija masih kecil, mereka pun pindah ke Yogyakarta.

Soegija mengenyam pendidikannya di Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Pada tahun 1901 Soegija diminta oleh imam Yesuit, Pr. Frans van Lith, untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, sekolah Yesuit di Muntilan karena dirinya dianggap sebagai seorang anak yang cerdas. Hingga pada tahun berikutnya, ia meminta kepada orangtuanya agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik.

Ia memutuskan untuk mendalam ilmu agama Katolik hingga pada 24 Desember dirinya dibaptis dengan mengambil nama baptis Albertus.Pada 1915, Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius dan menjadi seorang guru. Pada 1916, ia masuk di seminari Xaverius, lembaga pendidikan calon pendeta Katolik Roma. Ia lulus pada 1919.

Soegijapranata merupakan tokoh yang membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut pemerintah pusat mengirim seseorang untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Soegijapranata pun dinobatkan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Soegijapranata wafat pada 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia.

Sejarah Pertempuran Lima Hari

Pertempuran Lima Hari berlangsung antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang di Semarang pada masa transisi kekuasaan ke Belanda. Peristiwa ini terjadi pada 15-19 Oktober 1945.

Usai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, sejumlah prajurit Jepang yang masih belum bisa kembali ke negaranya. Seiring dengan itu, pasukan Sekutu, termasuk Belanda, mulai datang ke Indonesia. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk melucuti senjata dan memulangkan para mantan tentara Jepang yang masih tersisa.

Kemudian pada 14 Oktober 1945 terjadi perlawanan dari 400 mantan tentara Jepang terhadap Indonesia. Perlawanan ini menjadi pemicu awal terjadinya Pertempuran Lima Hari. Para mantan tentara Jepang yang akan dipindahkan ke Semarang melarikan diri dari pengawasan para pemuda Indonesia.

Para tentara Jepang ini bergabung dengan pasukan batalion Kidobutai, prajurit yang ditarik mundur dari Perang Asia Pasifik, yang dipimpin oleh Mayor Kido. Upaya penentangan dari para prajurit semakin terlihat sewaktu mereka tiba di Semarang. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan alasan mencari serta menyelamatkan orang-orang Jepang yang menjadi tahanan.

Kemudian orang dari Kidobutai mendatangi Kota Semarang pada 15 Oktober. Kedatangan mereka ini disambut oleh angkatan muda Semarang dengan mendapat dukungan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pertempuran antara mereka pun terjadi selama lima hari. Perang Lima Hari Semarang terjadi di empat titik, yaitu Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan di depan Lawang Sewu (Simpang Lima).

Buruh Pancasila

Pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia diawali dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Soegijapranata kembali ke Semarang.

Gangguan dalam gereja masih terjadi namun ia harus segera menyelesaikan tugasnya yaitu agar anak dari keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan keluarga mereka makmur.Begitupun Perang Dingin yang masih terus meningkat, terjadi perselisihan besar antara gereja di Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soegija menganggap bawha PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin, karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya.

Oleh karena itu sebagai bentuk perlawanan, Soegija bersama dengan orang Katolik lain membentuk kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Hingga pada 19 Juni 1954, Soegija mendirikan salaj satu kelompok yang disebut sebagai Buruh Pancasila.

Organisasi tersebut menjadi salah satu cara Soegijapranata untuk menyebarluaskan falsafat Pancasila. Selain itu, gangguan-gangguan lain masih terus bermunculan, seperti adanya konflik mengenai penguasaan Papua Barat.

Redaktur: Fiter Bagus

Penulis: Sindi B Natalia Panjaitan

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.