Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 04 Mar 2019, 05:28 WIB

Media 'Mainstream' Tetap Jaga Etika Jurnalistik

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkoinfo), Rudiantara.

Foto: ISTIMEWA

JAKARTA - Pemerintah mendukung penuh kerja jurnalis atau wartawan dalam memerangi berita bohong atau hoaks. Sebab, selama ini, media mainstream atau arus utama untuk tetap menjaga etika jurnalismenya.

"Saya mengajak media di Indonesia bisa melawan hoax. Saya yakin media massa di Indonesia bisa lebih baik lagi," kata Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkoinfo), Rudiantara, saat membuka acara Kongres Media Siber Indonesia 2019, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ia mengatakan, sejauh ini pekerjaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk peningkatan infrastruktur dan kualitas internet. Salah satu bentuknya adalah dengan program satelit palapa yang juga bergantung dengan jaringan yang dimiliki perusahaan swasta. Hal tersebut memudahkan masyarakat untuk mengakses berita, utamanya media digital.

Rudiantara menjelaskan penyebab banyaknya masyarakat mengakses berita di media digital bukan karena pengaruh teknologi. Tapi, lebih kepada berubahnya pola pikir masyarakat yang telah memasuki era Society 5.0. "Yang menyebabkan ini bukan hanya teknologi, tapi pola pikir kita mencari cara efisien dan lebih efektif untuk menyelesaikan masalah di masyarakat," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo, menjelaskan media di Indonesia, khususnya digital, masih memiliki beberapa kekurangan. Utamanya dalam melakukan praktik-praktik penulisan berita yang kerap tidak memedulikan etika jurnalistik.

Selain itu, lanjut dia, praktik-praktik menyimpang tersebut kerap dilakukan untuk mencari keuntungan melalui clickbait dengan memampang judul kontroversial. Belum lagi banyak yang mendirikan media hanya untuk tujuan bekerja sama dengan pemerintah daerah.

"Di Indonesia banyak bikin media, bisnisnya seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Bekerja sama dengan pemda, memuat iklan, dan merasa cukup," tutur Stanley.

Stanley memahami, media digital khususnya yang menjadi media arus utama atau mainstream memang masih punya permasalahan, terutama dalam pendapatan. Untuk menjawab hal tersebut, Financial Times bisa dijadikan salah satu contoh.

"Financial Times memiliki media digital maupun cetak. Media digital digunakan untuk pemberitaan dengan proses berbayar yang berpengaruh terhadap akses pembaca. Sedangkan, untuk media cetaknya, Financial Time menggunakannya untuk iklan dan dibagikan secara gratis," jelas Stanley.

Kendati demikian, Stanley menilai hal tersebut belum bisa diterapkan di Indonesia. Menurutnya, media di Indonesia pemberitaannya kerap sama dalam menghadapi suatu isu dan tidak punya ciri khusus.ruf/E-3

Penulis: Muhamad Ma'rup

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.