Tutup Kebijakan Impor Pangan dengan Kenakan Tarif Tinggi
Kebijakan Pangan - Presiden Perlu Penasehat Independen untuk Reformasi Kebijakan Pangan
Foto: antaraJAKARTA - Program swasembada pangan harus direncanakan secara matang dan terencana dengan baik serta komprehensif agar benar-benar bisa mengarah ke kemandirian pangan yang terpenuhi dari produk pertanian dalam negeri.
Pembangunan sektor pertanian itu tantangannya sangat luar biasa, dan tidak cukup hanya dengan modal dan tekad politik yang kuat. Apalagi, kalau program yang dicanangkan sudah tidak tepat dan efektif, maka yang terjadi banyak kebijakan mubazir.
Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni yang diminta pendapatnya mengatakan kondisi di Indonesia saat ini, banyak lahan subur malah dikonversi bangunan dan properti. Di sisi lain, Pemerintah malah terus mencari lahanuntuk lumbung pangan atau food estate, yang pada dasarnya tidak cocok untuk mengembangkan tanaman pangan.
“Lahan yang subur seperti di Pulau Jawa, malah habis dibeton, ini keliru, industri harus keluar dari Pulau Jawa, properti dan real estate jangan terus dikembangkan di Jawa. Pindahkan ke Kalimantan dan wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) agar terjadi pemerataan,” kata Beni.
Tiongkok jelas Beni bisa membangun negaranya masuk ke kelas menengah atas dalam waktu 20 tahun karena strateginya benar yakni memulai pembangunan dari desa.“Kalau Pemerintah kita malah mengalihkan lahan subur menjadi beton, mana mungkin bisa mewujudkan swasembada pangan.Dengan membeton lahan subur, kita kehilangan karunia Tuhan, tanah subur itu untuk pangan. Jawa sudah salah dengan membangun real estate dan industri. Hal ini juga yang menyebabkan ketimpangan, gini ratio kita terus naik,” kata Beni.
Pemerintah paparnya harus menutup kebijakan impor pangan dengan mengenakan tarif yang tinggi. Misalnya, semua impor pangan harus dikenakan tarif 30 persen, baru semua bisa bangun. Pemerintah harus memulai dengan mengenakan tarif 30 persen pada semuakomoditi impor termasuk gandum yang sekarang tarifnya 0 persen supaya importir beralih menanam jagung.
“Kalau tidak dinaikkan 30 persen mustahil bersaing. Eksportir pangan dunia subsidinya 30-100 persen. Kita mulai dari dasar dulu, 30 persen itu harus dikenakan dulu.Tapi impor jagung diganti gandum itu dagelan. Siapa yang mau tanam jagung.Kalau pembantu Presiden tidak jujur gimana mau membenahi negara ini,” kata Beni.
Hanya Akal-Akalan
Sementara itu, peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut mengatakan, informasi yang diberikan para pembantu Presiden kadangkala tidak lengkap.
“Mereka hanya akal-akalan, tapi tidak selesaikan masalah bangsa. Nggak mungkin swasembada dengan pengalihan masalah. Itu malah akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar,” kata Siprianus.
Presiden Prabowo Subianto katanya perlu penasehat yang ahli bidang pangan, tetapi tidak masuk dalam lingkaran birokrasi, sehingga mereka merekomendasikan keputusan yang tepat. “Kalau birokrasi kan takut,” ujarnya.
Diminta pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan tantangan besar dalam mencapai swasembada pangan di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dan independen. Dia menyarankan agar Presiden membentuk tim penasihat khusus yang independen dari birokrasi untuk memberikan rekomendasi strategis di bidang produksi dan ekonomi pangan.
Presiden sebutnya harus membentuk tim khusus penasihat presiden bidang swasembada pangan yang di luar dan independen dari birokrasi. Di hampir semua kampus, banyak guru besar yang pintar, tetapi tidak dipakai keilmuannya, padahal itu adalah aset yang bisa dijadikan Presiden sebagai referensi dan rujukan yang lebih akurat dan lengkap dalam mengambil kebijakan di bidang pangan.
“Sebagai turunannya adalah program Makan Bersama Gratis (MBG) akan semakin berhasil karena menjadi bagian integral swasembada pangan. Termasuk swasembada protein. Apakah itu ayam atau telur ikan, ini bagian dari tim pakar ini, tidak perlu banyak orang,” kata Aditya.
Dia juga menyoroti kebijakan impor jagung yang diganti dengan gandum itu dinilai sangat parah. Sebab, gandum tidak bisa ditanam di Indonesia sehingga ini sangat menyesatkan.
“Kita bukan negara primitif lagi yang bisa dibohongi terus. Waktu dua tahun (dijanji swasembada) sudah habis, padahal waktunya sangat berharga, tetapi karena disuguhi data tidak lengkap, maka sia-sia,” katanya.
Semua permasalah pangan itu, solusinya kata Aditya adalah mengenakan tarif impor 30 persen. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump begitu populer karena dia melindungi kepentingan nasional rakyat Amerika.
“Dalam persaingan yang tidak adil, yang dia melakukan peningkatan tarif. Bahkan, negara sekelas Russia saja diancam Trump dengan tarif jika tidak mau berhenti memerangi Ukraina. Jadi, dengan pengenaan tarif, baru memaksa orang menanam jagung dan umbi-umbian.
Apalagi, tarif kan pajak yang bermanfaat bagi penerimaan negara dan nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki gizi rakyat dan ekonomi rakyat.
Selain tarif, Pemerintah tambahnya harus memberi insentif untuk produksi dalam
negeri agar meningkat. “Itu senjata paling ampuh. Kenapa Menteri Keuangan tidak mau menggunakan instrumen itu kan aneh. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) malah dinaikkan tarifnya jadi 12 persen, sementara impor yang menggila tidak dikenakan tarif,” pungkasnya.
Berita Trending
- 1 Jangan Lupa Nonton, Film "Perayaan Mati Rasa" Kedepankan Pesan Tentang Cinta Keluarga
- 2 Trump Mulai Tangkapi Ratusan Imigran Ilegal
- 3 Menkes Tegaskan Masyarakat Non-peserta BPJS Kesehatan Tetap Bisa Ikut PKG
- 4 Ketua Majelis Rektor: Rencana Kampus Kelola Tambang Jangan Jadi Masalah Baru
- 5 Sekolah Swasta Gratis Akan Diuji Coba di Jakarta