Masyarakat Apatis pada Penegakan Hukum Kasus Korupsi
Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan masyarakat sudah semakin “muak” dengan perilaku elite yang manipulatif terhadap hukum karena terlalu banyak kasus-kasus korupsi dan ketidakadilan yang melibatkan pejabat dan aparat.
» Hentikan berbagai tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk membebaskan institusi hukum dari intervensi politik.
» Korupsi merampas hakhak masyarakat karena anggaran yang seharusnya digunakan membangun fasilitas publik jadi lenyap.
JAKARTA - Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang stagnan dalam lima tahun terakhir disinyalir karena masyarakat apatis dengan penegakan hukum terutama dalam kasus korupsi. Kondisi tersebut makin diperparah dengan semakin lemahnya lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Ketuanya pun jadi tersangka dalam salah satu pusaran kasus korupsi.
Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan masyarakat sudah semakin "muak" dengan perilaku elite yang manipulatif terhadap hukum karena terlalu banyak kasus-kasus korupsi dan ketidakadilan yang melibatkan pejabat dan aparat.
Di kesempatan lain, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan masyarakat semakin tidak percaya dan merasa tidak ada lagi lembaga yang bisa mewakili ekspektasi publik untuk memberantas korupsi.
"Jadinya masyarakat apatis, itu dibuktikan ada isu trust dalam pajak. Masyarakat enggan membayar pajak karena salah satu isu korupsi," tegas Esther.
Sebab itu, korupsi harus diberantas dan harus clear bagaimana rule of the game-nya agar investasi masuk lebih banyak.
Sementara itu, Peneliti Institute for Financial and Economic Studies (IFES), YB. Suhartoko, mengatakan masyarakat sebenarnya tidak semakin permisif terhadap perilaku korupsi, namun lebih apatis karena ketidakberdayaan masyarakat terhadap adanya perilaku korupsi.
"Korupsi seperti lingkaran setan yang tidak bisa dibedakan ujung dan pangkalnya, sebab dan penyebabnya," tegas Suhartoko yang juga merupakan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta tersebut.
Untuk menjadi anggota legislatif sebagai wakil rakyat yang mempunyai tugas pengawasan membutuhkan biaya besar. Sistem demokrasi yang sangat liberal, selain karena perebutan kekuasaan antarpartai, juga terjadi persaingan dalam satu partai.
"Kondisi ini mau tidak mau akan mendorong bagaimana investasi yang ditanamkan menuntut harus kembali," katanya.
Di tingkat eksekutif juga demikian, butuh biaya tinggi dan orang-orang di sekitarnya untuk keterpilihannya. Ke depannya, ini akan mendorong terjadinya bagi-bagi rezeki.
Di lembaga yudikatif pun demikian, kepemimpinan lembaga-lembaga negara yang harus melalui uji kepatutan dan kepantasan atau fit and proper test, sangat besar kemungkinan terjadi pembicaraan yang transaksional.
"Intinya, negara ini butuh perubahan yang menyeluruh, konsisten, tanpa kompromi," tegas Suhartoko.
Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan perilaku permisif soal korupsi memperburuk citra Indonesia di mata internasional.
"Jadi, ada korelasi mundurnya berbagai komitmen investor dari negara maju seperti kasus investasi pengolahan nikel BASF (Badische Anilin Soda Fabrik) dan Eramet karena penegakan hukum yang lemah. Repot juga mau tarik investor, tetapi budaya korupsi masif di berbagai lapisan," papar Bhima.
Korupsi menyebabkan biaya untuk berusaha menjadi tidak kompetitif. "Ini jadi ancaman serius bagi Indonesia yang berniat jadi negara maju dengan mengandalkan komponen investasi dan ekspor," tegas Bhima.
Putus Asa
Pengamat hukum yang juga kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menyatakan kontribusi terbesar dari melemahnya IPAK adalah masyarakat putus asa melihat perilaku hukum di tingkat elite. Banyak kasus yang melibatkan elite berujung dengan tidak terungkapnya kasus itu atau hukuman yang tak setimpal.
"Masyarakat sakit hati dan makin apatis terhadap institusi hukum, termasuk perkembangan KPK, dan semua institusi penegak hukum lainnya. Menteri juga banyak korupsi, jadi tontonan setiap hari bahwa kena hukum itu cuma sedang sial saja, sudah biasa, dan bukan kejadian luar biasa lagi bagi masyarakat," papar Hardjuno.
Oleh sebab itu, dia mengimbau agar masyarakat dibuat percaya lagi kepada institusi hukum dengan menghentikan berbagai tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk membebaskan institusi hukum dari intervensi politik.
Selain itu, institusi penegak hukum harus diperkuat lagi dengan memastikan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan kredibel.
Terlepas dari institusi dan aparat hukum, masyarakat pun memiliki peran yang sangat krusial jika ingin meningkatkan IPAK.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (15/7), melaporkan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) masyarakat Indonesia pada 2024 berada di angka 3,85 poin. Dengan mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2024 maka angka itu masih berada 0,29 poin di bawah target.
Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, Senin (15/7), mengatakan nilai IPAK yang mencapai 3,85 mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan dengan IPAK 2023 yang mencapai 3,92. "Penurunan IPAK tentunya merupakan indikasi bahwa masyarakat lebih permisif terhadap perilaku korupsi," kata Amalia.
Redaktur : Vitto Budi
Komentar
()Muat lainnya