Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 14 Nov 2024, 00:00 WIB

Masalah Data Sangat Krusial

BPS Gunakan Standar Lama Tentukan Kelompok Rakyat Miskin Ekstrem

Foto: Antara

Jika masalah data tak kunjung teratasi, maka kebijakan yang diambil dikhawatirkan tidak akurat.

JAKARTA – Masalah data masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah lantaran selama dua dekade terakhir persoalan ini tak kunjung terselesaikan. Dikhawatirkan, permasalahan tersebut dapat membuat kebijakan yang diambil kurang akurat.

Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, mengatakan masalah data memang tidak pernah tuntas, dari 2014 sejak pencanangan Satu Data Indonesia. Namun sampai sekarang, masalah data ini tidak kunjung teratasi.

Selama dua dekade, pemerintah tak kunjung menyelesaikan sinkronisasi data, baik dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kementerkan Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan. Semua data berbeda sehingga pengambilan kebijakan sektoral akan kontradiksi antara satu sektor dengan sektor lain.

"Saya pikir penyelarasan data ini krusial sebab ketika data ini tidak sinkron dan keliru maka proses pengambilan kebijakan pun juga keliru. Maka proses validasi kembali data ini penting sehingga ketika disodorkan ke Presiden Prabowo kebijakan yang diambil tetap guna, tepat sasaran dan tepat waktu," ucap Rizal Edi kepada Koran Jakarta, Rabu (13/11).

Seperti diketahui, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/bKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Rachmat Pambudy, dalam peluncuran buku Tabel Morbiditas Penduduk Indonesia di Jakarta, Senin (11/11), menyampaikan angka kemiskinan dan angka kecukupan gizi (AKG) di Indonesia sangat kontradiktif.

Menurut dia, apabila rakyat tidak miskin, seharusnya AKG juga bagus. Namun, AKG di Indonesia yang masuk kategori kurang gizi lebih dari 180 juta jiwa, walaupun mereka tidak tergolong kelompok miskin. Jika angka-angka tersebut dijadikan acuan maka kondisi kesehatan di Tanah Air perlu dicek ulang.

Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa dihubungi terpisah mengatakan perlu diverifikasi lagi. Dia menambahkan patokan garis kemiskinan kemungkinan terlalu rendah sehingga nampak tidak sinkron dengan AKG.

"Sekiranya menggunakan garis yang lebih tinggi, seperti halnya standar Bank Dunia barangkali akan lebih relate dengan AKG," ucapnya.

Di samping itu perlu dikaji lagi kaitan pola konsumsi dengan angka kecukupan gizi (AKG). Pada 2018, hasil studi menemukan 30 persen anak orang kaya mengalami stunting. Hal ini karena pola asuh dan konsumsi tidak memperhatikan asupan gizi memadai.

"Artinya, pendekatannya harus sejak dalam kandungan. Perlu pendekatan multi-aspek terkait literasi, ekonomi, kesehatan, agama, dan sosial-budaya," jelasnya.

Data Lama

Soal masalah data ini juga disoroti DPR RI. Wakil rakyat menilai BPS menggunakan standar lama internasional dalam menentukan kelompok rakyat miskin ekstrem. Padahal, standar garis kemiskinan terbaru versi Bank Dunia mengacu angka pendapatan baru sebesar 3,2 dollar AS per kapita per hari. Ukuran ini diadopsi sejak 2022 melalui angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017 dari sebelumnya PPP 2011.

Anggota Komisi X DPR RI Agung Widyantoro menyoroti standar pengukuran kelompok masyarakat miskin yang dilakukan BPS tersebut. Menurutnya, angka kemiskinan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.

“Contohnya rumah masyarakat yang layak huni tetapi sudah ditempelkan stiker tidak mampu, kemudian sebaliknya. Hal ini yang memicu terjadinya kesalahan dalam menyalurkan bantuan,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi X dengan Kepala BRIN dan Kepala BPS di Ruang Rapat Komisi X, Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11)

BPS hingga kini belum ada rencana melakukan pengubahan metodologi pengukuran standar kelas miskin ekstrem sesuai standar baru Bank Dunia itu.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.