Tenaga Surya Opsi Terbaik Bagi RI Capai Target EBT 75 GW Sebelum 2035
Hasil Studi - Potensi PLTS di Indonesia Sangat Besar Dengan Rerata 7,7 Terra Watt
Foto: antaraJAKARTA - Dalam sebuah laporan singkat terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi opsi terbaik bagi Indonesia untuk memastikan target 75 gigawatt (GW) Energi Baru Terbarukan (EBT) tercapai lebih cepat dari jadwal.
Analis CREA, Katherine Hasan di Jakarta, Selasa (4/2) mengatakan perlu memantau dan mengusahakan proyek-proyek prospektif seperti itu agar segera diluncurkan dan dipercepat pengembangannya, sehingga akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan.
“Indonesia bisa mencapai hingga empat kali lipat pada dekade berikutnya, melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2030, dan memastikan Indonesia untuk mencapai target di tahun-tahun selanjutnya, di mana capaian pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) terus meningkat,” kata Katherine.
Menurut dia, dari 45 GW, setidaknya terdapat 16,5 GW proyek tenaga surya yang prospektif di Indonesia, lima kali lebih tinggi dari yang diuraikan dalam JETP CIPP 3,1 GW, dan 30 persen lebih tinggi dari target RUKN 2030 sebesar 12,8 GW.
Jika menilik pengalaman Vietnam dan Tiongkok, Indonesia masih punya waktu untuk mengupayakan proyek energi surya lebih besar sebelum 2030-2035.
Sementara untuk energi angin, dia mengatakan masih terdapat selisih yang harus diisi, mengingat proyek prospektif yang tercatat oleh Global Energi Monitor (GEM) hanya 2,5 GW atau lebih rendah dari kapasitas yang ditargetkan pada 2030 dalam RUKN sebesar 4,8 GW.
Kesenjangan antara potensi tenaga angin dan penerapan yang optimal dari segi biaya, bahkan lebih besar dan mendesak. Untuk itu, Indonesia perlu upaya lebih besar dalam pengembangan tenaga angin melalui penciptaan iklim investasi yang dapat menarik pembiayaan sesuai kebutuhan.
“Dengan memetakan proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin mana yang secara realistis dapat dilaksanakan sebelum 2030, Indonesia akan melampaui target yang saat ini dijabarkan dalam RUKN,” kata Katherine.
Adapun proyek prospektif 45 GW yang dimaksud, saat ini telah masuk ke tahap konstruksi, pra-konstruksi, dan pengumuman. Namun, baru 30,6 GW di antaranya yang telah ditetapkan jadwal mulainya. Sementara 13,6 GW lainnya, yang mencakup energi surya 10,7 GW, angin 1,8 GW, dan panas bumi 1,1 GW, belum ditetapkan tahun berapa akan dimulai pembangunannya.
Kalau proyek-proyek tersebut bisa direalisasikan, maka akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik Indonesia menjadi 58,5 GW atau 77 persen dari target RUKN pada 2035 sebesar 75,6 GW.
Namun demikian, untuk mencapai target RUKN 2035 dari kapasitas saat ini 13,5 GW, Indonesia masih membutuhkan tambahan 18 GW lagi, yang harus diprioritaskan agar segera masuk dalam perencanaan nasional.
Dalam RUKN 2024-2060 target kapasitas energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditetapkan sebesar 75,6 gigawatt (GW) pada 2035, sehingga membutuhkan percepatan energi surya dan angin melalui perencanaan strategis dan pemantauan ketat.
Sangat Besar
Direktur Eksekutir Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, berdasarkan kajian lembaganya, potensi teknis PLTS di Indonesia mencapai 3,3 Tera Watt (TW) hingga 20 TW, dengan rerata 7,7 TW.
“Jadi pada dasarnya potensi PLTS di Indonesia sangat besar,”ungkap Fabby.
Kajian IESR BNEF juga paparnya mengindikasikan PLTS + BESS memberikan harga listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) setelah 2030.
Ini artinya PLTS + BESS memberikan biaya sistem listrik terendah atau least cost untuk tingkat faktor kapasitas yang setara dengan pembangkit thermal. "Jadi bagi PLN (Perusahaan Listrik Negara), lebih menguntungkan membangun PLTS + BESS skala besar ketimbang membangun pembangkit thermal dan mengoperasikan PLTU,"ungkap Fabby
Dia menjelaskan bahwa tantangan mengembangkan PLTS + BESS adalah pertama masih kuatnya persepsi mengenai intermitensi PLTS, yang sebenarnya bukan masalah saat ini.
Kedua, PLTU yang masih terus dioperasikan karena dianggap murah karena subsidi harga barubara oleh harga DMO (domestic market obligation).
Ketiga, ketentuan kontrak pembangkit thermal IPP (Independent Power Producer/perusahaan pembangkit listrik swasta) berupa take or pay yang mengakibatkan operasi sistem tidak berdasarkan merit order dan fleksibel.
Jadi, kunci untuk mengembangkan PLTS + BESS secara besar besaran dan mendapatkan manfaat ekonomi adalah reformasi regulasi, kebijakan serta modernisasi sistem ketenagalistrikan.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Meminta TNI dan Polri Hindarkan Indonesia jadi Negara yang Gagal
- 2 Rilis Poster Baru, Film Horor Pabrik Gula Akan Tayang Lebaran 2025
- 3 Tayang 6 Februari 2025, Film Petaka Gunung Gede Angkat Kisah Nyata yang Sempat Viral
- 4 Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi Sebut JETP Program Gagal
- 5 Meksiko, Kanada, dan Tiongkok Siapkan Tindakan Balasan ke AS