
Sayang Harus Ada Seorang Ibu Meninggal Dulu, Baru Gas Dikembalikan ke Pengecer
Warga rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan elpiji/LPG tiga kilogram di agen resmi kawasan Gandaria Selatan, Jakarta, Selasa (4/2).
Foto: ANTARA/Luthfia Miranda Putri.Kalau tidak ada seorang wanita tua, Yonih (62), meninggal karena antre membeli gas elpiji ukuran 3 kilogram, apakah penjualan gas dikembalikan ke pengecer? Yonih tinggal di kawasan Pamulang, Tangerang, meninggal hari Senin (3/2) karena kelelahan hanya untuk membeli gas yang selama ini sangat mudah dibeli. Tapi karena kebijakan ESDM, gas menyusahkan rakyat, dan Yonih bahkan harus merelakan nyawa hanya untuk mencari bahan bakar.
Ini memang kebiasaan buruk, kalau tidak ada korban, rakyat dibiarkan dibuat susah payah. Sekali lagi ini membeli, bukan antre untuk gas yang gratis. Nasi telah menjadi bubur, walaupun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia minta maaf, tak bisa menghidupkan kembali Yonih.
Perubahan kebijakan ini benar-benar memporak-porandakan kehidupan. Ibu rumah tangga susah. Para pedagang susah. Semua susah karena tak bisa cepat mendapat gas elpiji 3 kilogram. Anehnya, ada kebijakan menteri, tapi presidennya tidak tahu. Bukankan menteri itu menjalankan arahan presiden? Sufmi Dasco dari Gerindra mengatakan bahwa perubahan kebijakan ini bukan dari presiden.
Kemarin-kemarin, ibu kehabisan gas bisa menyuruh anak, pembantu atau bahkan tetangga, dengan gampang langsung mendapat gas di depan gang. Sekarang ibu itu harus pergi sendiri, dan bukan di depan gang, tapi beratus-ratus meter atau bahkan lebih dari satu kilometer untuk membeli gas. Itu pun harus berjam-jam antre. Itu pun belum tentu belum dapat.
Karena baru kemarin pagi, presiden menginstruksikan pengecer boleh kembali menjual elpiji 3 kilogram, antrean tetap masih ada di mana-mana. Puluhan atau ratusan warga rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan elpiji 3 kilogram (kg) di agen. Salah satu agen yang diantre adalah di Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa.
Salah satu pengantre, Iwan, susah payah mengantre lama. Dia terus kesulitan mendapatkan elpiji sejak sepekan lalu, saat perayaan Imlek. Iwan kepada antara mengatakan harus terus mencari elpiji karena untuk jualan pecel lele. “Hari Senin, saya ke pom dekat rumah pun tidak dapat elpiji,” jelasnya.
Sementara itu, warga lainnya, pedagang siomay, Yulia, menuturkan sangat kesulitan mendapatkan elpiji 3 kg. Yulia ingin pemerintah memberikan kartu kepada warga demi pemerataan. “Inginnya dikasi kartu aja biar tepat sasaran,” ucap Yulia.
Di agen resmi kawasan Gandaria Selatan itu, satu warga hanya diperbolehkan untuk membeli satu tabung elpiji dengan harga 20.000 tanpa diperiksa Kartu Tanda Penduduk. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Jakarta, Hari Nugroho, minta masyarakat tak melakukan panic buying (pembelian secara berlebihan karena panik) terkait langkanya elpiji 3 kilogram.
Mungkin Hari tidak tepat memilih istilah. Ini bukan punic buying. Ini orang kesulitan memperoleh elpiji. Kalau punic buying itu memborong (barangnya ada). Ini barangnya tidak ada, bagaimana mau borong? Lebih dari itu, mengubah kebijakan harus disosialisasi lebih dulu. Jangan ujug-ujug main ganti saja.
Berita Trending
- 1 RI-Jepang Perluas Kerja Sama di Bidang “Startup” dan EBT
- 2 Jadwal Liga 1 Indonesia Pekan ke-26: Jamu Persik, Persib Berpeluang Jaga Jarak dari Dewa United
- 3 DPR-Kejagung Gelar Rapat Tertutup Bahas Kasus-kasus Korupsi
- 4 Bukan Penentu Kelulusan, Mendikdasmen: TKA Pengganti UN Tidak Wajib
- 5 Tiongkok Mengeklaim Telah Menemukan Sumber Energi “Tak Terbatas”