Komitmen Mengembangkan EBT Masih Rendah
JOKO WIDODO Presiden RI - Transformasi menuju energi baru dan terbarukan serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau akan menjadi perubahan penting dalam perekonomian kita.
Foto: ISTIMEWA» Transformasi ke EBT dan akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau menjadi perubahan penting dalam perekonomian.
» EBT adalah masa depan kita, masa depan Indonesia dan anak cucu kita nanti.
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan di depan sidang umum MPR, di Jakarta, Senin (16/8), kembali menekankan pentingnya transformasi menuju energi baru terbarukan (EBT) dan akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau dalam mendongkrak laju perekonomian nasional.
Pemanfaatan energi bersih dan teknologi hijau juga akan berdampak terhadap arah ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Sebab itu, konsolidasi kekuatan riset nasional akan terus diupayakan agar sejalan dengan agenda pembangunan di Indonesia.
"Transformasi menuju energi baru dan terbarukan serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau akan menjadi perubahan penting dalam perekonomian kita," kata Jokowi.
Seiring dengan harapan penambahan investasi hingga 900 triliun rupiah sampai akhir tahun, Kepala Negara berharap bisa menciptakan lapangan kerja baru dan menggerakkan perekonomian lebih signifikan.
"Perkembangan investasi harus menjadi bagian terintegrasi dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan," kata Presiden.
Pemerintah pun optimistis mampu memberikan kontribusi optimal dalam menyelesaikan komitmen terhadap adaptasi perubahan iklim. Percepatan transisi energi dari fosil ke EBT diyakini secara cepat membantu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan mengerem kenaikan suhu tidak lebih dari dua derajat Celsius.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), EBT telah menunjukkan perkembangan signifikan dalam memberikan sumbangsih terhadap ketenagalistrikan, penggunaan bahan bakar hingga pemanfaatan secara langsung.
Angka pemanfaatan biodiesel, misalnya tumbuh tiga kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Realisasi biodiesel sudah dimulai terhitung sejak tahun 2008 dengan memperkenalkan produk campuran biodiesel sebesar 10 persen (B10). Puncaknya, realisasi produksi biodiesel mencapai 3,01 juta kiloliter di tahun 2015, kemudian meningkat menjadi B30 dengan realisasi 8,46 juta kiloliter pada 2020.
Pencapaian itu menempatkan Indonesia sebagai negara produsen biodiesel terbesar dunia melampaui Amerika Serikat (AS), Brasil, maupun Jerman. Peningkatan itu pun mampu menghemat devisa sebesar 38,31 triliun rupiah pada 2020.
Sedangkan dari sisi bauran pembangkit listrik, EBT menambah kapasitas pembangkit sebesar dua gigawatt dalam lima tahun terakhir. Hingga akhir 2022, realisasi bauran EBT tercatat sebesar 11,31 persen. Pemerintah optimistis mampu menjawab tantangan dalam mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butar Butar, menyambut baik komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi soal transformasi energi dalam berbagai kesempatan. Transformasi menuju EBT, katanya, adalah sebuah keharusan yang wajib dijalankan pemerintah dan semua pihak terkait.
"Energi baru dan terbarukan adalah masa depan kita. Masa depan Indonesia dan anak cucu kita nanti," tegas Paul.
Berkaitan dengan pernyataan Presiden sebelumnya untuk mencapai net zero emission pada 2050, maka Indonesia sudah harus memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan sedikitnya 50 persen pada 2050.
Energi Kotor Dominan
Dihubungi terpisah, Pakar Energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmi Radhi, menyayangkan komitmen pemerintah untuk pengembangan EBT yang masih rendah. Hal itu terlihat pada target EBT 2025 sebesar 23 persen, namun saat ini baru tercapai 11,3 persen.
Bahkan, biodiesel sekalipun yang selama ini dibanggakan juga mandek pada B30. Bauran energi EBT pembangkit listrik baru sekitar 12,15 persen, selebihnya energi kotor batu bara yang mendominasi sebesar 57,22 persen.
"Untuk menpercepat pengembangan EBT, pemerintah harus mengubah paradigma untuk migrasi dari energi fosil ke EBT. Pemerintah harus memberikan insentif fiskal, bukan insentif tarif ke investor," usul Fahmi.
Salah satu syarat penting untuk mencapai zero carbon adalah seluruh pembangkit listrik PLN harus sudah menggunakan 100 persen EBT.
"Pembangkit berbasis batu bara merupakan penyumbang emisi karbon yang sangat besar, makanya PLN harus konsisten dan berkelanjutan menerapkan langkah strategis untuk mencapai 100 persen EBT bagi seluruh pembangkitnya," tutup Fahmi.
Berita Trending
- 1 Mitra Strategis IKN, Tata Kelola Wisata Samarinda Diperkuat
- 2 Cagub Khofifah Ajak Masyarakat Teladani Jasa Pahlawan Hadapi Tantangan Global
- 3 Hasil Survei Unggul, Cawagub Hendi Tekankan Netralitas Aparat di Pilgub Jateng
- 4 Atasi Krisis Air Bersih di Bali, Koster Tawarkan Pipanisasi Sedangkan Muliawan Desalinasi
- 5 DPR Minta Pemerintah Beri Perhatian Khusus Peternak Sapi Perah
Berita Terkini
- Prabowo Dorong Perusahaan AS Investasi di Indonesia
- Trump Nyatakan Ingin ke Indonesia Saat Ditelepon Prabowo
- Mayat Tanpa Identitas Ditemukan Mengapung di Demaga Pancang Sungai Krueng Aceh
- Para Pemimpin Dunia Hadiri KTT Iklim di Azerbaijan, Sejumlah Nama Besar Absen
- Di PSC, Indonesia Komitmen Tingkatkan Kerjasama Maritim Internasional