
Kesehatan Mental Bagi Para Pekerja Informal Sering Terabaikan
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahmat Hidayat
Foto: Istimewa
JAKARTA - Dekan Fakultas Psikologi UGM Rahmat Hidayat, mengatakan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental pekerja informal ini merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Secara statistik, jumlah pekerja di sektor informal ini sangat besar.
Dia menjelaskan, sekitar 59 persen dari angkatan kerja bekerja di sektor informal. Artinya, ada sekitar 72 juta orang yang hidup dari pekerjaan informal, dan ini mencakup sekitar 43 hingga 45 juta rumah tangga.
“Hal ini berarti ada sekitar 152 hingga 160 juta jiwa, terdiri dari orang tua, ayah, ibu, dan anak-anak, yang kehidupannya bergantung pada ekonomi sektor informal. Kondisi yang tidak menguntungkan di sektor informal, atau kebijakan pemerintah yang tidak mendukung sektor ini, akan berdampak langsung dan dirasakan oleh sejumlah besar orang,” ujar Rahmat, dalam keterangan resminya, Jumat (21/3).
Dia menjelaskan, di tengah kondisi ekonomi yang belum kondusif seperti sekarang, tekanan mental bagi pekerja informal makin bertambah. Dia mencontohkan pekerja informal seperti ojek online, tukang kayu, pedagang kaki lima, hingga asisten rumah tangga, terkadang beban psikologis yang sering kali tidak tampak di permukaan, namun sangat signifikan bagi para pekerja di sektor informal.
“Bagi mereka, lelah terkait pekerjaan itu bukan sekadar lelah fisik, tetapi juga lelah mental. Dalam hal ini, tekanan psikologis yang dialami pekerja informal muncul dari ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan sosial yang mereka terima,” jelasnya.
Rahmat menyebutkan ada empat kategori beban yang kerap dihadapi oleh para pekerja informal, yakni beban pekerjaan, beban ekonomi, beban sosial, dan beban lingkungan fisik. Ketidakpastian pekerjaan menjadi sumber utama beban bagi pekerja informal.
Lalu dari sisi ekonomi, pekerja informal juga harus menghadapi tekanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, biaya sekolah, hingga hutang yang harus terus dibayar. Beban sosial juga turut menambah tekanan pada pekerja informal.
"Masyarakat Indonesia yang kolektif cenderung memberikan penilaian sosial yang tinggi. Lingkungan fisik yang tidak mendukung juga menjadi beban tambahan bagi para pekerja informal,” katanya.
Rahmat menyebut, banyak sekali kebijakan publik yang mengabaikan pertimbangan psikologis manusia termasuk dalam hal ini pekerja informal. Menurutnya, kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada data statistik tanpa memperhitungkan dampak psikologis yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut.
Dia menjelaskan, berapa persen pekerja informal yang perlu dibantu, tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan mereka, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana mereka merespons kebijakan tersebut. Padahal, faktor psikologis ini sangat penting untuk memastikan kebijakan tersebut berjalan dengan efektif.
“Jika ingin mengubah kondisi masyarakat secara luas, diperlukan kebijakan inklusif yang sensitif terhadap cara berpikir kelompok masyarakat tersebut,” terangnya.
Redaktur: Sriyono
Penulis: Muhamad Ma'rup
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kemnaker Sediakan 229 Bus Mudik Gratis
- 2 Pemkot Kediri Lakukan Cek Angkutan Umum
- 3 Gubernur DKI Jakarta Serahkan KJP Plus Tahap I 2025 dan Gratiskan Akses TMII
- 4 Pemerintah Kota Kediri Melakukan Pengecekan terhadap Angkutan Umum agar Aman
- 5 Pemkab Bogor: Bazar Pangan Murah Kadin Sukses Stabilkan Harga
Berita Terkini
-
Modest Fashion Berkibar, Ramadan Runway 2025 Jadi Gerbang Menuju Kancah Internasional
-
MS Amadea Berlabuh di Sabang, 521 Wisatawan Jelajahi Eksotisme Barat Indonesia
-
Rahasia Kulit Glowing Saat Puasa, Dokter Ungkap Tips Jitu
-
Film Qodrat 2 Segera Tayang Lebaran 2025, Dibintangi Vino G Bastian dan Acha Septriasa
-
BPJS Kesehatan Siapkan Antisipasi Lonjakan Pasien Setelah Lebaran