Kamis, 09 Jan 2025, 01:15 WIB

Keputusan Indonesia Bergabung ke BRICS Berdampak Buruk ke Stabilitas Rupiah

Gabung BRICS, Harga yang Dibayar RI Terlalu Mahal

Foto: istimewa

JAKARTA- Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve yang memutuskan menahan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) dinilai sebagai salah satu faktor eksternal yang menyebabkan kurs rupiah melemah. Sentimen negatif pada rupiah juga dari internal ketika Pemerintah Indonesia memutuskan untuk bergabung dengan organisasi kerja sama ekonomi BRICS (Brasil, Russia, India, China, dan Afriks Selatan). 

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga, Surabaya, Radityo Dharmaputra yang diminta pendapatnya, Rabu (8/1) mengatakan BRICS belum memberikan pengaruh yang jelas bagi eksistensi Indonesia. Keputusan Indonesia bergabung ke aliansi ekonomi itu juga tidak memberikan manfaat yang signifikan pada negara, bahkan berpotensi mengganggu kerja sama dengan blok barat.

“Bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak memberikan keuntungan jelas karena ada negara anggota BRICS yang merupakan poros penantang negara barat dalam sektor ekonomi menjadikan Indonesia berada pada posisi yang sulit tanpa adanya keuntungan yang pasti.

Apalagi, secara ekonomi, Indonesia sudah bisa bekerja sama langsung dengan anggota-anggota BRICS tanpa perlu bergabung. Karena itu, bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak memberikan suatu keuntungan yang pasti bagi negara. BRICS yang merupakan kumpulan negara-negara berkembang tentu memiliki tujuan meningkatkan dominasi perekonomian di kancah global. Bahkan, digadang sebagai penantang negara barat dalam bidang ekonomi.

Dengan bergabungnya Indonesia, maka akan memberikan sentimen dari negara barat pada Indonesia. Mereka akan menilai Indonesia sebagai bagian dari blok Tiongkok-Russia. Oleh sebab itu, harus ada mitigasi dengan cara memperkuat kerja sama dengan AS dan Uni Eropa sebagai penyeimbang. “Kalau tidak, harganya terlalu mahal untuk kita,” tutupnya.

Berbeda dengan Indonesia, Vietnam ragu bergabung dengan BRICS. Vietnam mempertimbangkan hubungan ekonominya yang berkembang dengan Washington (AS) dibanding manfaat bergabung dengan blok yang dianggap sebagi penangkal pengaruh global di bawah pimpinan AS. Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025, seperti diumumkan oleh pemerintah Brasil yang menjadi presidensi BRICS tahun ini.

Jaga Jarak

Pada kesempatan lain, Profesor Ekonomi Bisnis dari Univeritas Atma Jaya Jakarta, Rosdiana Sijabat mengatakan, Pemerintah perlu memahami dan mengantisipasi karakter dari pemerintah Presiden AS terpilih Donald Trump yang selalu menjaga jarak politik dan ekonomi kepada negara negara yang dianggap bukan sekutu politiknya seperti Russia dan Tiongkok, sehingga bisa saja keputusan bergabung ke BRICS akan berimbas ke Indonesia.

Dalam pandangan AS, Indonesia salah satu negara yang memiliki hubungan dagang atau ekonomi yang cukup besar selama ini. Ketika memutuskan menjadi anggota BRICS, maka itu dianggap Indonesia lebih memilih untuk memanfaatkan peluang ekonomi politik dari keberadaan BRICS.

“Itu yang dikhawatirkan oleh investor bahwa AS akan membuat jarak- jarak ekonomi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia, misalkan kita tidak lagi mungkin mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yaitu pembebasan tarif khusus yang diberikan AS untuk negara- negara tertentu termasuk Indonesia,” kata Rosdiana.

Kemudian ini tentu akan berdampak ke hal hal lain seperti yang dilakukan AS terhadap Meksiko, dengan menaikan tarif sangat tinggi untuk produk-produk otomotif yang diperdagangkan di AS kalau dia berasal dari pabrikan yang berada di Meksiko akan terkena bea masuk yang cukup besar 200 persen, padahal sekitar 20 persen produk otomotif yang diperdagangkan di AS adalah hasil pabrikan dari Meksiko.

“Kalau dilihat saat ini, kita mendapatkan fasilitas GSP dari AS, terutama untuk ekspor produk-produk kimia, pakaian jadi, alas kaki, mesin, peralatan dan lain lain, tetapi sebenarnya ini tidak terlalu besar sekitar 20 persen dari nilai perdagangan Indonesia dengan AS.

Hal yang perlu juga dipertimbangkan adalah kebijakan ekonomi Trump yang sangat proteksionis. Apalagi, dia sudah mengatakan kalau anggota BRICS merelokasi investasi dalam bentuk pabrik maka Trump akan mengenakan tarif 200 persen untuk negara-negara yang menarik diri dari AS dan ketika negara negara itu datang mengekspor produk ke AS maka akan terkena tarif besar. “Ini yang dikhawatirkan oleh pelaku ekonomi/investor ketika kita membangun kesepakatan ekonomi yang multilateral yang lebih kita utama untuk BRICS lalu kita lakukan relokasi investasi,” katanya.

Sementara itu, peneliti Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, Rupiah nampaknya sedang membentuk titik equilibrium baru seiring dengan penguatan ekonomi AS setelah Trump terpilih.

“BRICS juga memunculkan risiko bentrokan kepentingan dengan negara adidaya lainnya, yaitu AS. Salah satunya terkait dengan fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi,” tutupnya.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: