Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 10 Feb 2025, 19:15 WIB

Kejar Ketertinggalan Kualitas Internet dari Negara-negara Tetangga dengan Percepat Lelang Frekuensi 5G

Acara diskusi Selular Business Forum (SBF) dengan tema "Lelang Spektrum: Lebih Cepat Mana 700 MHz & 26 GHZ atau 1,4 GHz,” di Jakarta pada hari hari Senin (9/2).

Foto: Koran Jakarta - Haryo Brono

JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menjanjikan akan meningkatkan kecepatan internet di Indonesia mencapai 100 megabyte per second (Mbps). Tidak hanya berjanji membuat kecepatan internet menjadi 100 Mbps, kementrian ini  juga ingin harga internet tetap terjangkau.

Hingga akhirnya, Komdigi memilih untuk terlebih dahulu meningkatkan kecepatan internet untuk fixed broadband. Caranya dengan melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz pada kuartal pertama 2025 ini. Melalui spektrum tersebut, Komdigi akan mengalokasikannya untuk keperluan Broadband Wireless Access (BWA).

Akan tetapi, banyak yang mempertanyakan keputusan tersebut lantaran teknologi jaringan telekomunikasi 5G di Indonesia belum merata dan menghambat kecepatan internet di tanah air. Pasalnya Komdigi tidak segera melakukan lelang spektrum pita frekuensi 700 MHz dan 26 GHz yang seharusnya menjadi spektrum penting menggelar jaringan 5G.

Komdigi dinilai justru melakukan lelang pita frekuensi 1,4 GHz dari pada pita 700 MHz dan 26 GHz, padahal untuk perencanaan lelang pita 700 MHz dan 26 GHz untuk menggelar pemerataan 5G sudah mereka lakukan sejak beberapa tahun lalu. Apakah benar pita frekuensi 1,4 GHz bisa menjawab kecepatan internet di Indonesia menjadi 100 Mbps sehingga didahulukan dari pada pita 700 MHz dan 26 GHz?

Untuk membahas hal tersebut, Selular Media Network menggelar acara diskusi Selular Business Forum (SBF) dengan tema "Lelang Spektrum: Lebih Cepat Mana 700 MHz & 26 GHZ atau 1,4 GHz, hari Senin (9/2/2025).

Sejumlah bicara mengutarakan pandangannya terkait tema diskusi yakni Chairman of Working Group Spectrum ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Rudi Purwanto; Plt Direktur Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit dan Standarisasi Infrastruktur Digital Komdigi, Adis Alfiawan; dan Pengamat Telekomunikasi dari ITB, Agung Harsoyo.

Isu Kecepatan Internet di Indonesia

Dalam diskusi tersebut, Chairman of Working Group Spectrum ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Rudi Purwanto mengatakan ada sejumlah isu teknologi saat ini. Isu tersebut di antaranya, kecepatan internet yang rendah dan latensi tinggi, harga layanan mahal terutama dalam layanan fixed broadband, sulitnya penggelaran infrastruktur telekomunikasi di daerah, pentingnya pengelolaan alokasi spektrum frekuensi.

Rudi menjelaskan Indonesia sangat membutuhkan tambahan spektrum baru 700 MHz, 2,6 GHz, 3,5 GHz dan 26 GHz untuk mengejar ketertinggalan untuk kecepatan internet hingga menggelar teknologi 5G. Dia juga mengungkapkan pita 2,6 GHz sudah digunakan di Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Myanmar, Singapura dan Laos. Untuk pita 3,5 GHz sudah digunakan di Filipina, sedangkan pita 26 GHz sudah Filipina dan Vietnam alokasikan.

Sementara untuk Indonesia, pita-pita tersebut sama sekali belum dialokasikan untuk penyelenggaraan teknologi maupun telekomunikasi. Rudi juga mempertanyakan kenapa pemerintah dalam hal ini Kemkomdigi justru lebih memilih mendahulukan lelang spektrum 1,4 GHz.

"Pita 1,4 GHz ini memang cepat untuk menggelar jaringan internet di Indonesia, tetapi kekurangannya yakni ekosistemnya sangat rendah. Dari Identifikasi perangkat baik Base Station dan CPE indoor yang akan digunakan saat ini belum di-support vendor teknologi seperti Huawei, ZTE hingga Ericsson yang juga masih butuh waktu untuk penyesuaian," ujar Rudi.

Rudi menambahkan untuk CPE (Customer Premise Equipment) ada kemungkinan akan embedded dengan WIFI dan akan menggunakan RedCap CPE untuk mengejar biaya murah. "Vendor Utama dan Qualcomm memerlukan waktu untuk melakukan development dan re-engineering perangkat 1,4 GHz sampai siap untuk komersial dan biasanya berkisar satu sampai 1,5 tahun," tambahnya.

Tak Hanya Fokus ke Fixed Broadband

Sementara itu, Plt Direktur Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit dan Standarisasi Infrastruktur Digital Kemkomdigi, Adis Alfiawan mengatakan pemerintah sedang menggenjot kecepatan internet di Indonesia menjadi 100 Megabyte per second (Mbps) dengan harga yang murah.

"Untuk internet mobile atau seluler kita sudah naik tahun 2024 menjadi peringkat 98 dengan kecepatan 26 Mbps dari sebelumnya 120 dengan kecepatan 10 Mbps di tahun 2020. Sementara untuk internet fixed broadband justru menurun dari peringkat 110 dengan kecepatan 13 Mbps di 2020 menjadi turun ke 126 dengan kecepatan 30 Mbps di 2024," ujar Adis.

Selain itu, Adis menyebut fixed broadband di Indonesia ini masih bisa terus bertumbuh karena dari data Komdigi, penetrasi masih relatif rendah yaitu lebih kurang 21,31 persen rumah tangga. Di saat penetrasinya masih rendah, tarif internet fixed broadband di Indonesia masih tinggi dan hal ini yang membuat pemerintah mendorong adanya lelang pita 1,4 GHz.

"Hal tersebut yang membuat kita fokus untuk meningkatkan kualitas layanan internet fixed broadband. Tetapi, kita tidak akan asal lelang dan melepas segala plan kepada bisnis pemenang lelang tetapi juga harus fokus ke pelayanan umum seperti sekolah, puskesmas dan lainnya," ungkap Adis.

Adis juga menambahkan jika Komdigi tidak hanya akan berfokus ke fixed broadband. Pasalnya, jika ada persetujuan juga, maka tidak hanya pita 1,4 GHz saja yang akan dilelang tetapi juga pita lainnya yakni 700 MHz, 2,6 GHz maupun 26 GHz yang dibutuhkan untuk menggelar pemerataan jaringan 5G bagi internet mobile.

"Semuanya masih dikaji termasuk pita 1,4 GHz dan juga pita frekuensi lainnya. Jika semua sudah beres maka akan segera kami lelangkan. Untuk target kami ingin secepatnya dan harus tahun ini," jelasnya.

BWA Pernah Gagal

Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan jika Broadband Wireless Access (BWA) atau layanan internet cepat tetap nirkabel pernah ada di Indonesia dan ternyata gagal. Sebagai informasi, pita 1,4 GHz ini nantinya peruntukannya BWA atau layanan internet cepat tetap nirkabel.

"Ketika akan diterapkan kembali, perlu kajian mendalam terkait BWA hingga seluruh aspek yang menjadi faktor kegagalan masa lalu," ungkap Agung.

Ia menambahkan jika kajian layanan berbasis regional atau wilayah harus dikomparasikan dengan yang berbasis nasional. Beberapa aspek yang diperhatikan seperti efisiensi/utilisasi, koordinasi, integrasi, interferensi, hingga aspek biaya hak penggunaan atau BHP frekuensi.

"Jika pun BWA ini nantinya akan diterapkan juga perlu memperhatikan aspek persaingan usaha yang sehat dan ini ranah KPPU, misalnya terdapat minimal dua operator per region/wilayah. Selain itu, mempertimbangkan minimal aspek ‘wilayah kurus’ dan ‘wilayah gemuk’," tandas Agung.

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.