
Investasi ke RI Lebih ke Padat Modal, Minim Buka Lapangan Kerja
Shinta W Kamda ni Ketua Umum Apindo - Tenaga kerja terpaksa beralih ke sektor jasa dengan produktivitas lebih rendah, bahkan masuk ke sektor informal yang rentan.
Foto: istimewaJAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai perekonomian nasional masih menghadapi tantangan besar terutama dari salah satu pilar penyanggah pertumbuhan ekonomi yakni investasi.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani mengatakan, investasi yang masuk ke Indonesia masih dominan ke padat modal, bukan ke padat karya. Padahal, investasi ke sektor padat karya akan menggenjot perekonomian Indonesia karena angkatan kerja yang besar.
“Konsekuensinya, lapangan kerja yang tercipta semakin sedikit, sementara jumlah angkatan kerja terus bertambah,” kata Shinta, seperti dikutip Antara dari keterangan resmi APINDO CEO Gathering di Jakarta, Selasa (18/2).
Kondisi tersebut jelasnya menciptakan ketimpangan yang semakin lebar antara ketersediaan lapangan kerja dan kebutuhan tenaga kerja. “Tenaga kerja terpaksa beralih ke sektor jasa dengan produktivitas lebih rendah, bahkan masuk ke sektor informal yang rentan,” kata Shinta.
Selain itu, dia juga menyoroti penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belakangan ini, yaitu adanya fenomena deindustrialisasi dini, yaitu saat di mana sektor manufaktur kehilangan daya dorong sebelum benar-benar mengangkat ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi.
Dibandingkan negara ASEAN lainnya, pada 2023, kontribusi manufaktur di Indonesia 19 persen sudah lebih rendah dibandingkan Thailand 25 persen, Malaysia 23 persen, dan Vietnam 24 persen.
Gejala deindustrialisasi juga tercermin dari pelemahan daya saing produk padat karya Indonesia. Misalnya, produk TPT (tekstil dan produk tekstil) yang mengalami tren penurunan ekspor selama 10 tahun terakhir.
Shinta mengakui, struktur industri saat ini mengalami tantangan yang disebut sebagai missing middle, suatu kondisi di mana industri kecil mendominasi populasi usaha, sementara industri menengah dan besar masih sangat terbatas.
Hal ini terlihat dimana industri kecil mencapai 96 persen dari total industri, sementara industri menengah hanya 3 persen dan industri besar hanya 1 persen. Struktur industri seperti itu mengakibatkan lemahnya keterkaitan antar industri, sehingga sangat bergantung pada impor bahan baku.
“Upgrade Skill”
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara.
Oleh karena itu, kebijakan katanya harus diarahkan ke peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar upgrade skill. “Itu satu- satunya solusi menjawab tren investasi yang cenderung ke padat modal. Data Badan Pusat Statistik menyatakan tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia itu 80 persen lebih masih berpendidikan SD, SMP, SMA,” jelas Esther.
Pakar Sosiolog dari Universitas Airlangga Bagong Suyanto, mengatakan, dengan banyaknya jumlah masyarakat miskin, pemerintah perlu memprioritaskan investasi yang bersifat padat karya, ketimbang yang padat modal. Selain itu, Pemerintah harus menyiapkan kualitas SDM yang kompetitif agar terserap industri.
“Melalui sistem pendidikan yang terencana, Pemerintah perlu menyiapkan SDM yang siap kerja sesuai kebutuhan industri.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kemenag: Kuota 1.838 Jemaah Haji Khusus Belum Terisi
- 2 Kabupaten Meranti mulai laksanakan Program Makan Bergizi Gratis
- 3 Pram-Rano Akan Disambut dengan Nuansa Betawi oleh Pemprov DKI
- 4 Klasemen Liga 1 Setelah Laga-laga Terakhir Putaran ke-23
- 5 Dirut BPJS: Syarat Kepesertaan JKN Bukan untuk Mempersulit Jemaah Haji