
ILO: Jaminan Sosial Pekerja di Indonesia Belum Optimal
Seminar “Just Transition & Climate Change: The Role of Social Protection and Impacts on Workers”
Foto: Istimewa
JAKARTA - Social Protection Programme Manager at International Labour Organization (ILO) Ippei Tsuruga, mengatakan, perlindungan sosial di Indonesia masih tergolong rendah dibanidng dengan negera-negara lain. Hal tersebut disampaikan dalam Seminar “Just Transition & Climate Change: The Role of Social Protection and Impacts on Workers”.
Dia menjelaskan, manfaat bantuan sosial untuk anak-anak dan pekerja di Indonesia sebesar 25,4 persen dan kecelakaan kerja sebesar 22,8 persen. Bahkan, penyandang disabilitas hanya mendapatkan manfaat sebesar 2,5 persen, sedangkan masyarakat lanjut usia hanya menerima sebesar 14,8 persen.
“Indonesia menjadi negara ketiga terbawah dalam penyediaan perlindungan sosial bagi masyarakat lanjut usia,” ujarnya, dalam keterangan resmi, Jumat (21/3).
Ippei menyebut hanya pekerja formal saja yang mendapatkan secara otomatis mendapatkan perlindungan ini. Perusahaan sektor informal memiliki regulasi yang berbeda.
"Perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan jamsos, tetapi mereka (pekerja) harus mendaftarkan dirinya sendiri,” jelasnya.
Sebagai informasi, sejak tahun 2014, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah diberlakukan di Indonesia. Jaminan sosial nasional ini merupakan salah satu tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakatnya.
Dosen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, menuturkan dari hasil penelitiannya terkait jaminan sosial bagi pekerja tambang batubara. Dia mencatat ada sekitar 336.000 orang bekerja di bawah sektor batubara.
"Sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja formal yang menjadikannya mendapatkan jaminan perlindungan sosial dari negara," tuturnya.
Qisha menggarisbawahi bahwa meskipun banyak pekerja yang merupakan pekerja formal, mereka terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Umumnya, PKWT digunakan untuk mengikat karyawan kontrak dan karyawan lepas (freelance).
Dia melanjutkan, banyak pekerja PKWT yang telah memenuhi kontrak 3 tahun akan dilepas atau dipromosikan sebagai pegawai tetap di bawah kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Qisha, skema seperti ini merugikan pekerja dan membuat mereka rentan terdampak PHK sepihak.
- Baca Juga: Persiapan jalan tol hadapi arus mudik
- Baca Juga: Upacara Melasti Jelang Hari Raya Nyepi
“Banyak pekerja masih rentan terhadap gangguan ketenagakerjaan, terutama di tengah transisi energi dan perubahan permintaan tenaga kerja di sektor tersebut,” terangnya.
Redaktur: Sriyono
Penulis: Muhamad Ma'rup
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Genjot Transisi Energi dan Ekonomi Hijau, Satgas Baru Diharapkan Jadi Game Changer
- 2 Isu DAS Ciliwung, Perlu Perbaikan dan Penataan Ulang Terutama Hulu dan Sempadan Sungai
- 3 Wapres: Warga Harus Peduli Kesehatan Diri
- 4 Kemenekraf dan Kabinet Merah Putih Dukung Animasi Indonesia
- 5 Studi: Sakit Pada Gigi Sensitif Jangan Diabaikan Karena Dapat Kurangi Kualitas Hidup
Berita Terkini
-
Minggu Pagi Ini, Umat Hindu Gelar Upacara Melasti di Pantai Parangkusumo
-
Kapolda Baru DIY, Brigjen Pol Anggoro, Resmi Bertugas
-
IHSG Anjlok, Ekonom UGM Soroti Risiko Fiskal dan Beri Tips Hadapi Gejolak Pasar
-
Update KJRI Jeddah: Penanganan Korban Kecelakaan Bus Jemaah Umrah Indonesia
-
Pemeriksaan Kesehatan Pengemudi Jelang Lebaran