Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Inklusi Bangsa Dirongrong Intoleran Mulai dari Sekolah

Foto : ANTARA/ Abdu Faisal

Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Jakarta Utara, Purwanto

A   A   A   Pengaturan Font

Dunia pendidikan Indonesia sungguh memprihatinkan, kalau tidak mau disebut membahayakan. Namun sesungguhnya, tidak terlalu tidak tepat juga, kalau disebut membahayakan. Sebab semestinya dari bangku pendidikanlah siswa-siswi yang masih berpikiran murni diberi pelajaran atau masukan bernilai luhur dan positif.
Namun sungguh tragis, karena ada sejumlah sekolah yang justru nyekoki atau memberi masukan negatif dan membahayakan dalam bentuk benih-benih intoleran, eksklusif, dan SARA. Hal ini tentu mengancam nilai-nilai inklusi yang mestinya dikembangkan sekolah. Sekadar memberi contoh kecil (tentu faktanya jauh lebih banyak), berikut disampaikan sejumlah rongrongan inklusifitas dari beberapa sekolah.
Juli 2017: Pelajar nonmuslim, NWA, diwajibkan mengenakan jilbab di SMPN 3 Genteng, Banyuwangi. Akhirnya NWA harus pindah sekolah. Juni 2019: Surat edaran SDN Karangtengah III, Wonosari, pada tahun ajaran baru 2019/20 mewajibkan siswa-siswi mengenakan seragam muslim. Januari 2020: Siswi (Z) SMAN 1 Gemolong, Sragen, dikirimi pesan intoleran dan penghinaan orang tua.
Januari 2021: JCH, siswi SMKN2 Padang menolak mengenakan kerudung yang diatur sekolah karena bukan muslim. Ada 46 siswi nonmuslim di sini mengenakan kerudung. Oktober 2022: Wakil Kepala Sekolah SMAN 52 Cilincing, Jakarta Utara menggerakkan sejumlah guru agar menolak calon ketua OSIS yang berbeda agama dengan wakil/guru.
Ini jelas kabar menyengat inklusifitas. Dunia pendidikan mestinya menjadi "Kawah Candradimuka" menanamkan nilai-nilai inklusifitas dan terbebas dari segala bentuk intoleran. Para guru justru membahayakan keragaman bangsa. Guru-guru semacam ini jelas bukan di sekolah tempatnya. Tempat mereka adalah di ruang-ruang pembinaan deradikalisasi.
Sebab, apa jadinya bila para pendidik saja bersikap intoleran? Tentu sulit diharapkan akan melahirkan lulusan yang inklusif. Jika terlalu banyak lulusan semacam itu, kita tinggal menunggu Indonesia dalam kehancuran. Jika dilihat contoh tadi seperti ada bahaya laten. Artinya dalam hampir setiap tahun lahir sikap-sikap intoleran di sekolah. Ini harus menjadi antisipasi dan evaluasi besar-besaran Kemendikbudristek untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari perongrong yang berbaju pendidik.
Segenap warga sekolah tidak boleh main-main dengan sikap-sikap intoleran. Kasus SMA 52 dan sebelum-sebelumnya harus menjadi pelajaran bersama. Tak boleh ada ruang intoleransi di dunia pendidikan. Tindakan serupa tidak boleh terulang di dunia pendidikan. Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Anggara Wicitra Sastroamidjojo, mengapresiasi Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang tidak mengizinkan intoleransi di dunia pendidikan.
Anggara menegaskan, tidak boleh ada ruang intoleransi di dunia pendidikan. Dia mengapresiasi Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang menjatuhkan sanksi tegas berupa pemberhentian dari status Wakil Kepala Sekolah pelaku intoleran SMA 52.
Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Jakarta Utara, Purwanto, menegaskan, ada dua pendidik yang aktif menjalankan instruksi wakil kepala sekolah. Dua guru lain hanya pasif. Pemilihan Ketua OSIS mestinya menjadi pelajaran awal cara berdemokrasi kaum remaja yang ke depannya bakal menjadi pemimpin bangsa.
Masa depan demokrasi menjadi runyam, kalau dalam cara demokrasi sekecil seperti pemilihan ketua OSIS saja diracuni dengan pikiran-pikiran sempit dan infantil. Orang selevel wakil kepala sekolah "kok" masih infantil cara berpikirnya. Hanya, ketua OSIS mesti diracuni SARA. Ini jelas proses penghancuran pikiran siswa-siswa yang semestinya jauh dari langkah seperti itu.

Beri Contoh
Purwanto pun ingin sekolah memberi contoh kepada siswa mengenai demokrasi yang baik. Dia minta beri kesempatan sebesar-besarnya kepada calon ketua OSIS yang kompeten untuk bisa mengampanyekan diri agar terpilih. "Yang dikedepankan harus kompetensinya, bukan yang lain," tandasnya.
Inilah yang akhirnya membawa kita ke pertanyaan, mengapa banyak pejabat negara berpendidikan tinggi, sampai bergelar doktor dari universitas luar negeri terbaik, namun banyak tidak menghasilkan lulusan dengan tingkat moral memadai yang mengedepankan kepentingan bangsa? Ini karena pendidikan sudah tidak bebas nilai. Pendidikan sejak awal diracuni mental-mental sempit, eksklusif, dan kekanak-kanakan seperti kasus SMA 52.
Kecerdasan seseorang tidak ada artinya tanpa dilengkapi sikap dewasa, inklusi, dan bersikap menerima setiap perbedaan alias berbineka. Kepandaian tanpa moral dan etika, tidak akan memiliki manfaat bagi bangsa. Padahal menurut Jean Piaget, kalau tingkat kepandaian atau pendidikannya tinggi, mestinya tingkat moralnya juga tinggi. Tetapi di sini banyak juga orang berpendidikan tinggi, namun tidak demikian moralnya. Bahkan intelektual tinggi justru digunakan untuk membodohi rakyat atau siswa.
Sebelum kebablasan, mari mengembalikan sekolah/pendidikan ke titik murninya: melahirkan manusai cerdas, berbudaya, berinklusi, dan menerima setiap perbedaan. Jangan menegasikan perbedaan karena itu keniscayaan yang harus diterima. Tugas berat mendikbudristek untuk mengembalikan pendidikan untuk melahirkan manusia Indonesia seutuhnya yang tidak compang-camping diracuni sikap SARA-is. Membuat kurikulum mudah, tetapi membuat manusia Indonesia seutuhnya jauh lebih sulit.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top