Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 04 Feb 2025, 01:30 WIB

Susahnya Menjadi Orang Kecil Harus Berburu Elpiji

Warga menunggu kedatangan stok gas elpiji 3 kg bersubsidi di salah satu pangkalan gas di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta, Senin (3/2).

Foto: ANTARA/Sulthony Hasanuddin

Semua sudah berjalan baik, kini orang dibuat susah mencari elpiji tiga kilogram. Selama ini tak banyak terdengar keluhan dari rakyat. Lalu mengapa tiba-tiba dibuat aturan, elpiji hanya dijual di pangkalan (agen), tak lagi oleh pengecer?

Berapa jumlah agen? Berapa jarak rumah penduduk kebanyakan dengan agen? Ini tak dipikirkan. Kalau ada penyelewengan, mengapa baru sekarang diurus. Padahal warga yang menjadi konsumen, tak banyak mengeluh. Malahan barua beberapa hari kebijakan baru berlaku, sudah terjadi lonjakan kenaikan harga elpiji di luar kebijakan. Harga naik sampai 5.000 rupiah yang ketahuan.

Namanya rakyat kecil, sudah susah hidup, masih dipersulit untuk membeli elpiji 3 kg. Itu beli, bukan gratis, harus antre jauh dari rumah pula. Salah satu antrean terlihat di SPBU Fatmawati, Jakarta Selatan. Warga rela antre untuk mendapatkan liquefied petroleum gas (elpiji) tiga kilogram (kg) karena sedang terjadi kelangkaan. 

Saat seorang warga, Kasmayanti, tiba di SPBU Fatmawati dikatakan, elpiji ada pukul 09.00 WIB. Dia sudah datang lebih pagi. “Setahu saya jam segitu susah. Jadi, saya datang lebih pagi,” kata Kasmayanti di SPBU Fatmawati, dikutip antara, Senin (3/2).

Kasmayanti mengaku khawatir tidak mendapatkan elpiji. Padahal dibutuhkan untuk kegiatan masak sehari-hari. Dia mengaku biasanya membeli di pedagang eceran, namun kini memilih mendatangi SPBU karena tak dijual lagi di eceran. Hanya ada di pangkalan.

Dia berharap pemerintah mengkaji kembali kebijakan baru tersebut. “Lebih baik kembalikan seperti dulu, biar gampang. Kita disuruh makan bergizi dan sehat. Tapi mau masak saja susah, gimana dong,” ujarnya.

Sementara itu, pemilik UMKM katering bernama Rochimawati mengatakan perlu jarak tempuh satu kilometer (km) dari rumahnya untuk bisa mendapatkan elpiji. “Gas habis, akhirnya nyari jauh. Harganya pun naik 5.000 dari 21.000 menjadi 26.000,” ujar Rochimawati. Wanita itu akhirnya tetap memilih membeli dengan harga tinggi lantaran membutuhkan untuk memasak pesanan lauk kemasan (frozen food) menjelang bulan puasa.

Sebagai pedagang, dia mengaku kesusahan karena sulit lantaran jarak yang jauh dan tidak bisa mengurangi bahan baku lantaran mementingkan kualitas. “Agak sulit ya, karena harus antre, dan memakan waktu. Jadi tidak menghemat waktu juga. Kalau bisa, kembalikan ke eceran saja,” ucapnya.

Dia berharap agar pemerintah bisa mengelola elpiji agar tetap sampai ke pengecer meski nantinya harganya menjadi naik. Mulai Sabtu (1/2), pemerintah menerapkan kebijakan baru, alasannya untuk memastikan pendistribusian subsidi energi berjalan lebih tepat sasaran.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menegaskan bahwa mulai hari itu, agen resmi Pertamina tidak lagi diperbolehkan menjual LPG tiga kilogram (kg) kepada pengecer. Pengecer elpiji bersubsidi ukuran tiga kilogram wajib mendaftarkan diri untuk menjadi pangkalan komoditas produk Pertamina itu.

Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki sistem distribusinya agar lebih terkontrol dan tepat guna. Yah, membeli elpiji biasa tidak antre, kini harus buang waktu lama, untuk mendapat elpiji, sangat tidak efisien. Rakyat dibuat bingung terus. Dulu dari minyak disuruh pindah ke elpiji. Sekarang beli elpiji dipersusah.

Redaktur: Aloysius Widiyatmaka

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.